“Dhuh Gusti, Ingkang Kawula Purugi Sinten Malih? Paduka Ingkang Kagungan Pangandikaning Gesang Langgeng”

Tokoh


RIWAYAT KYAI IBRAHIM TUNGGUL WULUNG
( 1803 - 1885 )
___________________________________


Kyai Ibrahim Tunggul Wulung berasal daerah Juwono (dekat Gunung Muria) dan bernama asli Kiai Ngabdullah. Menurut tradisi lisan yang beredar di sekitar Muria, Kyai Tunggul Wulung adalah anak seorang selir Raden Ngabehi Atmasudirdja (Bupati Pura Mangkunegaran) yang dilahirkan kira-kira pada tahun 1803 dengan nama asli Raden Tandakusuma. Ia kemudian menjadi seorang demang di kawasan Kediri dengan nama Raden Demang Padmadirdja tetapi karena keterlibatannya dengan Perang Diponegoro 1825-1830, maka ia menyembunyikan diri dan menjadi rakyat jelata. 

Setelah sampai Ngoro, mereka mendapat keterangan bahwa pengaruh C.L. Coolen telah berkurang karena ditinggalkan para pengikutnya (karena babtisan). Selanjutnya mereka menuju ke utara yaitu daerah Kawasan Mojowarno. Kejadian ini terjadi pada tahun 1853, dimana pada saat itu kawasan Mojowarno telah berkembang menjadi 5 desa Kristen: Mojowarno, Mojowangi, Mojoroto, Mojojejer dan Mojodukuh. Di Mojowarno mereka bertemu dengan pemimpin jemaat yaitu Ds. J.E. Jellesma dan Paulus Tosari. 

<< Wiryo Widianto >> 


Baca Selanjutnya   >>>



RIWAYAT Ds. R. MULYODIHARJO
( 1891 - 1980 )
_________________________


Mulyodiharjo dilahirkan di Mojokerto dari pasangan : bapak R. Jatmojo Dermorejo Joyoguno dan ibu Kasmunah pada 15 Juli 1891.
Jatmojo Dermorejo Joyoguno mempunyai jabatan: Boas Waterstaat atau kepala pekerjaan umum (membuat bangunan Irigasi dan jembatan besar sungai besar), di Kabupaten Mojokerto. Pada saat itu termasuk wilayah Jombang, sekarang termasuk wilayah Japan (Mojokerto). Sehingga Mojowarno masuk dalam wilayah Mojokerto.
Pada waktu itu Mojowarno melakukan banya pembangunan fisik ( irigasi air atau bendungan sungai, jalan raya, Gedung-gedung kegiatan gereja, rumah sakit, sekolah dsb ). Karena keterbatasan ahli, maka J. Kruyt sebagai pemimpin jemaat Mojowarno meminta bantuan Bupati Japan R. Adipati Ario Kromojoyo Adinegoro (III) untuk menolong dalam mewujudkan proyek pembangunan fisik di Mojowarno. Bupati Japan, mengirimkan orang kepercayaan di bidang pembangunan fisik : gedung, bendungan dan jembatan ke Mojowarno.

<< Wiryo Widianto >>


RIWAYAT KYAI PAULUS TOSARI
_________________________

Paulus Tosari lahir pada sekitar tahun 1813 dengan nama Kasan, sebagai seorang Madura dari desa Kedungturi, Taman, Surabaya. Ayahnya seorang pemeluk agama Islam abangan. Sebaliknya ibunya orang yang taat kepada ajaran agama Islam. Saat masih kecil si Kasan tumbuh menjadi anak yang nakalnya luar biasa, dia senang bertengkar, berjudi sehingga setelah di Khitan, Kasan mendapat tambahan nama Jariyo ( Kasan Jariyo ).
Karena ibunya ingin agar Kasan kelak menjadi orang yang baik, ia memasukkan Kasan Jariyo ke Pondok Pesantren. Di Pondok Pesantren ia menjadi seorang santri yang baik dan pandai. Namun karena lingkungannya membuat dia terkekang maka ia keluar juga dari Pondok. Baginya yang menarik adalah hidup dan tumbuh sebagai pemuda kampung biasa. Karena hidup di desa Kedungturi, Taman, Surabaya (saat ini masuk wilayah Sidoarjo ), maka ia banyak bergaul dengan kawan-kawan Jawa. Lingkungan masyarakat saat itu membuat Kasan gemar menonton pertunjukan Wayang dan mencari ilmu ( Kebatinan Jawa ).
<< Wiryo Widianto >>



RIWAYAT Ds. JEROBEAM MATTHEUS, Jr.
________________________________

Jerobeam Mattheus Jr adalah anak ke 6 (enam) dari GI Matdakim Mattheus Sr (keponakan Karolus Wiryoguno yang disekolahkan Guru Injil di Mojowarno). Setelah lulus, dia menjadi Guru Injil pertama di Surabaya atau menjadi cikal bakal Jemaat Jawa Surabaya (Jemaat GKJW Gubeng, Surabaya).
Karena sangat rajinnya melakukan penginjilan sampai usia matangpun dia belum memiliki isteri. Atas nasihat neneknya (Maria Magdalena) maka dimintalah bantuan pamannya mencarikan jodoh dari Mojoroto. Karolus dengan senang  hati membantu dan menunjukkan Yustinah (keponakan dari isterinya). Yustinah ini adalah puteri Wuryan Agustinah (adik Nyai Karolus atau Simon Suryo).
Karena telah saling kenal diantara keluarga dan menyetujui, maka mereka menikah. Dari sini kelihatan sekali bahwa pada saat itu, perkawinan anggota Jemaat Mojowarno selalu saling berkaitan saudara atau kerabat dekat.
<< Wiryo Widianto >>



RIWAYAT Ds. R. TARTIB IPRAYIM
___________________________

Tartib Iprayim dilahirkan di Tunjungrejo, Lumajang dari pasangan :  GI R. Iprajim Setu Brontodiwiryo (putera Karolus Wiryoguno) dan Sarilan pada 10 Pebruari 1886.
Iprayim Brontodiwiryo (ayahnya) adalah mantan Guru Injil Jemaat Kertorejo (Jombang) yang pada 17 Juli 1898 memimpin buka hutan Tunjungputih cikal bakal desa Tunjungrejo (Lumajang) dan menjadi Guru Injil di sana.
Pembukaan hutan dilakukan ala pembukaan hutan Kracil pimpinan ayahnya (Karolus) yang menjadi cikal bakal berdirinya desa-desa di Mojowarno. Kemiripan cara, baik dari sisi tehnis maupun spiritual. Dalam hal tehnis seperti: sebelum masuk hutan anak-anak dan para wanita dititipkan di desa yang dekat hutan, mula-mula mereka tinggal/ membuat rumah di pepohonan untuk menghindari binatang buas. Setelah hutan dibuka cukup luas, mereka mendirikan tempat tinggal darurat terbuat dari bambu beratap daun selang (rotan) kemudian baru keluarga mereka diboyong ke rumah tersebut.
<< Wiryo Widianto >>


RIWAYAT  Ds. R. DRIYO MESTOKO (1884 - 1950)


        1.   TOKOH PERINTIS KADIWASAN GREJA MOJOWARNO
        2.   PENDETA JAWA PERTAMA
        3.   KETUA MAJELIS AGUNG GREJA KRISTEN JAWI WETAN (Jawa Timur)
4. MENAKBISKAN PENDETA PERTAMA BALI “MADE RUNGU” DAN MEMBANTU PERSIAPAN BERDIRINYA SINODE GKPB (GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI)


Driyo Mestoko dilahirkan di Kertorejo dari pasangan : GI R. Simsim Mestoko (putera Karolus Wiryoguno) dan R.Ngt. Djasminah pada 30 Januari th. 1884. Dengan susunan keluarga sbb :


Putera sulung GI Ngoro ini, dipersiapkan dan dididik ayahnya untuk masuk dalam pendidikan guru di Mojowarno. Sejak muda Driyo Mestoko adalah aktifis pemuda, terbukti pada th. 1901, di saat belajar di Sekolah Pendidikan Guru di Mojowarno dia menerbitkan sebuah majalah berbahasa Jawa yang namanya “Udyono Among Siswo”, yang dipimpin oleh Driyo Mestoko, J. Matheus Jr. dan Arban.

Majalah ini ditujukan untuk guru-guru di Mojowarno. Oplag pertama hanya 10 lembar. Ukuran hanya “double folio”, ditulis tangan oleh J. Matheus Jr. dengan huruf Jawa. Karena ternyata bahwa penggemarnya juga dari kalangan bukan guru, sifatnya dirubah menjadi majalah umum. Karena permintaannya terus bertambah, Driyo Mesoko dan Arban terpaksa membantu dalam penulisan, walaupun tulisan mereka tidak serapi tulisan J. Matheus Jr. Akhirnya majalah itu terpaksa dicetak, juga dengan huruf Jawa. Majalah itu berisi penelahan Alkitab dan berita-berita singkat. Majalah itu sempat bertahan 12 tahun. Setelah tamat sekolah ketiga pemimpin majalah ini menjadi guru di tempat yang berlainan yang jaraknya bagi waktu itu jauh, alamat redaksinya tetap di Mojowarno yang diurusi oleh Ng. Sastroatmodjo. Akhirnya majalah itu terpaksa diteruskan oleh Sekolah Pendidikan Guru Mojowarno.
Setelah lulus dari Sekolah Pendidikan Guru Driyo Mestoko menjadi Guru di jemaat Bongsorejo. Selanjutnya Jemaat Segaran (Mojokerto) membutuhkan seorang guru untuk mengajar di sana dan dia bersedia untuk pindah ke Mojokerto.

Dia sangat bersemangat belajar keterampilan bahasa Belanda sehingga semakin hari semakin meningkat kemampuan mengajar dan relasinya dengan orang-orang Belanda.

Karena kepribadian yang bagus (disiplin, ulet, berani dan seorang pembelajar), maka pada tahun 1912, ia dibutuhkan (dipinjam) oleh Zending Salatiga untuk menjadi Guru di Sekolah Pendidikan Guru di Tingkir, Salatiga milik Zending Salatiga (Jawa Tengah).

Di sana hobi membacanya tetap dilakukan, ia sangat senang membaca buku-buku berbahasa Belanda. Dengan keyakinan bahwa untuk dapat meningkatkan pengetahuan ia dalam mengajar dan berorganisasi, ia harus menguasai bahasa Belanda (pada waktu itu belum banyak buku tentang ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Jawa atau Indonesia).

Di Salatiga, Driyo Mestoko berkenalan dengan Ny. Van Emmerick, seorang Kristen dari Bala Keselamatan dan pendiri sebuah perkumpulan/ koloni yang dinamakan Salib Putih. Salah satu kegiatan di Salib Putih, Ny. Van Emmerick yaitu mengumpulkan para pengemis dan gelandangan di Salatiga dan sekitarnya, untuk dididik dalam berbagai keterampilan, seperti membuat barang-barang dari sabut kelapa, anyam-anyaman, alat-alat pertanian, bercocok tanam di perkebunan dan lain-lain.

Ny. Van Emmerick juga mendirikan persekutuan doa di Salib Putih (persekutuan itu bukan Jemaat, karena Bala Keselamatan itu bukan Gereja). Hal unik dan menarik dari kegiatan Persekutuan di Salib Putih ini, yaitu bahwa kegiatannya disesuaikan dengan kegiatan Zending di Tingkir dan SPG milik Zending Gereja Gereformeerd di Yogyakarta. Sehingga Zending Gereja Gereformeerd merasa sangat dibantu.

Driyo Mestoko juga sering pergi ke Yogyakarta dalam kaitannya dengan Zending Gereja Gereformeerd. Di sana ia bekenalan dengan Ds. H. Bakker, Pendeta Utusan dan dosen di Sekolah Theologia di Yogyakarta. Dari Ds. H. Bakker inilah Driyo Mestoko memperoleh banyak pengetahuan tentang Gereja.

Ds. H. Bakker meminjamkan buku-buku dan memberi brosur-brosur tentang Gereja. Ia juga menjelaskan hal-hal yang tidak dimengerti oleh Driyo Mestoko. Sehingga pengetahuannya tentang cara-cara Gereja Kristen Jawa berorganisasi dan mengembangkannya, semakin bertambah.

Pada tahun 1900 awal, kondisi masyarakat jawa dan Nusantara mulai terasa berbeda dibandingkan sebelumnya. Sebelumnya nuansa kekuasaan kolonial terlihat dominan, namun pada waktu itu mulai bermunculan gerakan Kebangkitan Nasional yang dipelopori para muda. Seperti :

1. Budi Utomo (1908) oleh Dr. Sutomo,
2. Serikat Dagang Islam (1911) oleh HOS Cokroaminoto,
3. Organisasi Kristen Jawa pertama : Rencono Budoyo ( 1911) oleh J. Matheus Jr dkk,
4. Organisasi Kristen : Mardi Pratjojo (1912) oleh Purcoyo Gadrun 
(Tahun 1918 menjadi Partai Politik dengan nama Persekutuan Kaum Christen, yang disingkat menjadi PKC)
5. Dan lain-lain.

Ternyata pengaruh gerakan para muda ini mempengaruhi semangat dan pola pikir para pemuda Kristen di Mojowarno. Pada tahun 1913 ada 4 orang pemuda yang mempunyai gagasan membuat study club, orang-orang ini adalah :
1. Nutriyo Darmowiryo,
2. Mulyodiharjo Dermorejo
3. Driyo Mestoko
4. Soponyono Dermorejo

Menurut Ds. Mulyodiharjo empat orang ini disebut Papat Guno (karena 2 org keturunan Joyoguno dan 2 orang keturunan Wiryoguno)

Gagasan ini sebelumnya dimulai dari pembicaraan santai oleh empat orang tadi di tepi sumur rumah Nutriyo Darmowiryo. Mereka mempunyai keinginan menyusun majelis jemaat menurut pilihan Jemaat secara demokratis dan bisa menciptakan Kedewasaan Jemaat dimana menurut seorang ahli Missiologi, Warneck diakatakan bahwa ada 3 syarat Kedewasaan Jemaat (“TRIAS WARNECK”), yaitu :
1.  Dapat mengatur dirinya sendiri
2.  Dapat membiayai dirinya sendiri
3.  Dapat mengembangkan dirinya sendiri

Dengan keyakinan kuat dan pemikiran yang matang maka pada tahun 1914, empat orang ini menghadap Pendeta Pasamuan Mojowarno saat itu : J.M.S. BALJON 
Pendeta J.M.S. BALJON setelah mempertimbangkan dengan cermat, serta adanya informasi bahwa di belakang orang-orang tersebut, terdapat dukungan yang kuat dari warga Jemaat (saat itu ada 30 para tokoh dan sesepuh warga). Akhirnya Pdt. J.M.S. Baljon mendukung usulan mereka tersebut.
Dengan semangat beberapa tokoh Mojowarno telah mengadakan persiapan – persiapan menuju kedewasaan.
Selanjutnya pada tahun 1922 dilakukan pemilihan pendeta (Jawa) melalui rapat – rapat warga Jemaat. Dari 3 orang calon : Arban, Wiryodarmo dan Driyo Mestoko. Maka terpilihlah Driyo Mestoko sebagai Pendeta Jawa Pertama di Jemaat Mojowarno dan pertama di Jawa.
Pada hari Pentakosta tanggal 20 Mei 1923, kedewasaan Jemaat Mojowarno, diresmikan oleh Pdt. J.M.S. Baljon. Tindakan Pdt. J.M.S. Baljon meresmikan kedewasaan jemaat ini ternyata mengejutkan NZG di Negeri Belanda. Sehingga Pdt. J.M.S. Baljon dipanggil pulang ke Negeri Belanda untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu. Namun J.M.S. Baljon dibela oleh seorang yang sangat berpengaruh, yaitu Dr. H. KRAEMER. Sehingga pendewasaan Jemaat Mojowarno akhirnya diakui juga oleh NZG, dan peresmian tersebut dianggap dianggap sah.
Kedewasaan Jemaat Mojowarno 1923 mengikrarkan berdirinya sebuah Gereja yang utuh, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Jemaat itu merupakan kegiatan Gereja. Kejadian ini menjadi tonggak kemandirian jemaat-jemaat di luar Mojowarno dimulai dari sekitarnya atau menjadi contoh bagi jemaat-jemaat lain dalam kemajuan dan pengembangan keorganisasian gereja secara mandiri.

Kegiatan yang bersifat setempat, ternyata kemudian secara genthok tular meluas se Jawa Timur. Kecuali dengan cara gethok tular meluasnya kegiatan di Mojowarno juga antara lain karena pada th. 1925, di Mojowarno terbit sebuah majalah bulanan yang namanya “Kristen Djawi” yang dipimpin oleh Driyo Mestoko, Puger, J. Matheus Jr. dan Wiryomusthi. Mula-mula Kristen Jawi itu dicetak di Kediri dengan huruf Jawa. Kemudian dicetak di Malang dengan huruf Latin dalam bentuk tabloid. Majalah Kristen Djawi keluar sebulan dua kali. Karena di Jawa Timur ternyata bahwa Kristen Jawi sangat laku, akhirnya Kristen Djawi dijadikan Majalah Mingguan. Majalah ini berhenti takkala Greja Kristen Jawi Wetan mengeluarkan majalah Gereja yang namanya Duta.
Karena Kristen Djawi beredar di Jemaat-jemaat di Jawa Timur, kegiatan dan pemikiran asal Mojowarno juga diikuti oleh Jemaat-jemaat lainnya. Atas inisiatif Nederlandsche Zendeling-genootschap (NZG) dan Panitia Pekabar Injil bernama Java Comite untuk mempersatukan 29 Raad Pasamuwan Alit (Majelis Jemaat) di seluruh Jawa Timur. Maka tanggal 15 Oktober 1931, ditawarkan pendirian suatu gereja bagi orang Jawa Timur sebagai suatu siasat NZG karena tekanan sosial politik yang muncul akibat tumbuhnya kesadaran nasionalisme Indonesia maka diusulkan dibentuknya MA (Majelis Agung). MA sebagai wadah jemaat kristiani berbasis kewilayahan di Hindia Belanda sebagai sebuah gerakan kultur sekaligus politik.

Bahkan selanjutnya MA GKJW didaftarkan ke Mahkamah Hindia Belanda sebagai suatu recht-persoon (badan hukum), sehingga memiliki kewenangan mengelola aset dan bertindak sebagai organisasi yang diakui pemerintah. Tampak, pendirian MA merupakan suatu siasat kebudayaan yang berada dalam koridor politik Hindia Belanda.
Maka telah disepakati pembuatan wadah tersebut diadakan satu persekutuan gerejawi pada tanggal 11 Desember 1931 dengan nama “Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing Tanah Djawi Wetan”. Nama ini kemudian diubah menjadi “Greja Kristen Jawi Wetan” dengan S.K. Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departeman Agama Republik Indonesia pada tahun 1979.
Sidang perdana MA diadakan keesokan hari setelah deklarasi, bertempat di gedung gereja Jemaat Mojowarno, Sabtu 12 Desember 1931. Mewakili NZG hadir C.W. Nortier (Ketua MA), C. van Engelen, S.A. van Hoogestraten dan J. Wiegers.
Wakil umat Kristen Jawa: Ds. Driyo Mestoko, Noeroso, Sriadi, Guru Injil (GI) Tartib Eprayim, Poertjojo Gadroen, Jaret Parang, Raden Poeger, Raden Wiryodarmo dan kawan-kawan. Anggota sidang yang hadir pagi itu, sebenarnya bukan muka baru. Mereka adalah aktivis yang sejak lama berkutat dalam pergerakan Jemaat Kristen Jawa. 

Pemilihan Pimpinan Gereja berlangsung tiap 3 tahun sekali :

Pemimpin Gereja I ( 1931 – 1934 )

Ketua : Ds. C.W. Nortier 
Sekretaris : Mas Puger 
Bendahara : Mas Purcoyo Gadrun 

Pemimpin Gereja II ( 1934 – 1938 )

Ketua : Ds. C. Van Engelen
Sekretaris dan Bendahara (Tetap) : Mas Puger dan Mas Purcoyo Gadrun 

Pemimpin Gereja III ( 1938 – 1940 )

Ketua : Ds. S.A. van Hoogstraten
Sekretaris dan Bendahara (Tetap) : Mas Puger dan Mas Purcoyo Gadrun 

Pemimpin Gereja IV ( 1940 – 1946 )

Ketua : Ds. Driyo Mestoko
Sekretaris dan Bendahara (Tetap) : Mas Puger dan Mas Purcoyo Gadrun

Masa penjajahan Jepang sangat berat dialami GKJW selain tekanan dari pemerintah Jepang ada perpecahan di dalam GKJW sendiri.
Di tengah perpecahan gereja (GKJW vs RPK), meskipun diancam oleh RPK (Raad Pasamuan Kristen) yang merasa didukung pemerintah Jepang, dia tetap berani mengambil resiko. Dia memutuskan mentahbiskan pendeta pertama Bali : Made Rungu pada tgl 24 Nopember 1943, di gedung Gereja Mojowarno atas nama penanggung jawab penuh Greja Kristen Jawi Wetan.
Pentakbisan ini menjadi tonggak bersejarah bagi terbentuknya Sinode GKPB (Gereja Kristen Protestan Bali) yang sebelumnya menjadi ladang penginjilan dan pelayanan serta anak asuh GKJW. Resikonya setelah pentakbisan Ds. Driyo Mestoko difitnah bersekutu oleh sekutu dan berakibat dia disiksa sampai gegar otak, dipenjara sampai kemerdekaan RI.
Teman-teman yang mempertahankan GKJW dan mendapatkan fitnah dari sekelompok orang RPK mengalami nasib yang sama, bahkan beberapa pendeta meninggal dunia dalam penjara dan beberapa ada yang hilang.
Hal yang menarik dari kepemimpinan Ds. Driyo Mestoko bahwa dalam mengemban sebagai Pimpinan Gereja, dia punya prinsip kuat (tegas dan berani). Dia tidak terpengaruh untuk menggeser prinsip bergereja dan berimannya. Dia tetap mempertahankan GKJW tidak goyah dalam pimpinan Sang pemimpin Imannya yaitu Yesus Kristus Sang pemilik Sejarah. Meskipun goncangan dari luar dan dalam gerejanya. Sosok pejuang yang cerdas, setia, perhatian kepada Jemaat, tanggap dalam melayani, pekerja keras dan punya prinsip kuat dalam memimpin.
Pada 5 September 1950 GKJW berduka karena sang tokoh akhirnya dipanggil menghadap Khaliknya.
Dia dimakamkan di tanah kelahirannya Desa Kertorejo, Kecamatan Ngoro, Jombang.

Sumber :

1. Manuskrip, Simsim Mestoko th. 1900 : “Sejarah Adegipun Pasamuan Kristen Jawi Mojowarno”.
2. Tulisan Pdt. Ismanu Mestoko 1974.
3. Peringatan 25 Tahun Berdirinya GKDW 1956, Tim Penulis GKDW.
4. Pergumulan Eklesiologi dan Misiologi GKJW 2001, Tim Penyusun GKJW.
5. Otobiografi Ds. Mulyodiharjo, Budi Satriyo, SH., Malang 1974.

(WIRYO WIDIANTO)




RIWAYAT  R. MUSO JEBUS WIRYOSENTONO

(BAU ARIS ke II  MOJOWARNO) 1856 – 1937


Muso Jebus Wiryosentono
Muso Jebus Wiryosentono lahir di Mojoroto pada tanggal 15 Desember 1856.  Dia adalah anak ke 4 dari R. Karolus Wiryoguno dan Ibu Yosibah Dariyah. Anak R. Karolus Wiryoguno sebanyak 8 orang yaitu :

            1. Amasiyo (meninggal saat balita)
            2. Putra kembar (meninggal setelah lahir)
            3. Putra kembar (meninggal setelah lahir)
            4. Muso Jebus Wiryosentono
            5. Iprayim Setu Brontodiwiryo
            6. Ramsih (meninggal saat balita)
            7. Simsim Mestoko
            8. Lesningwati

Ayahnya selain menjadi kepala desa Mojoroto dan Kembangsore juga menjabat sebagai Bau Aris di area Kawedanan Wirosobo (Mojoagung). Bau Aris adalah nama jabatan dalam pemerintahan jaman pemerintahan Belanda (tahun 1800 sd 1900 an) setingkat asisten Wedana atau koordinator kepala desa di suatu kabupaten.
Sejak kecil dia aktif membantu kegiatan orang tuanya termasuk membuka hutan Kracil menjadi desa-desa baru. Dia dipersiapkan / dididik ayahnya aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di desa dan aktif kegiatan gereja. Tak heran jika setelah dewasa dia dijadikan sekretaris desa Mojoroto dan Kembangsore. Setelah ayahnya mengundurkan diri maka diadakan pemilihan kepala desa. Yang terpilih menjadi pengganti Karolus, yaitu Marius (putera Tabitah atau keponakan Karolus). Namun karena sakit dan kemudian Marius meninggal dunia, maka posisinya digantikan oleh Musa Jebus. 
Kiprah Muso tidak berbeda dengan ayahnya (Karolus Wiryoguno), dalam penetapan kepala desa yang baru sekaligus Bau Aris ke II (koordinator lurah), dia melanjutkan pembukaan hutan yang telah dilakukan ayahnya, dari 27 desa menjadi 35 desa dengan tambahan desa : nDadi, Nglebak, Pulanasir, Jurangbang, Pulasari, Segitik, Ngrimbi dan Mutersari (1875 – 1899).
Untuk membangun desa-desa baru ini Muso Jebus, mengajak keluarga-keluarga dari desa: Mojoroto, Mojojejer dan Kembangsore pindah ke desa baru ini. Adapun keluarga yang mau pindah seperti keluarga Joyomenangsi, Atemo, Boyo, pak Kasti dan Kik Boyo.
Muso Jebus juga mendirikan gedung gereja (Pepanthan Pasamuan Mojowarno) di desa Mutersari. Pepanthan ini akhirnya berkembang menjadi GKJW Mutersari seperti saat ini.
Terinspirasi keberhasilan adiknya Simsim Mestoko seorang Guru Injil Jemaat Ngoro yang telah berhasil mendirikan Sekolah Kristen sejak tahun 1895 maka pada tahun 1912 Muso Jebus juga mendirikan sekolah Dasar Kristen di desa Mutersari.
Untuk mengajar Muso Jebus minta bantuan seorang guru bernama Kyai Arban.

Keberhasilan dalam memimpin babad hutan Kracil ini, oleh pemerintah saat itu dia mendapat hadiah tanah yang menjadi hak milik turun temurun. Jika Karolus menerima hadiah tanah desa Kayen, Desa Latsari (Guwo), desa Kembangsore dan desa Japanan. Maka Muso Jebus mendapat hadiah tanah di desa Pulosari, Nglebak dan Ngrimbi. 
Muso Jebus beristrikan Kasminten dan Srigenah (putri Kyai Jogo Suronegoro dari Bongsorejo). Isteri ke dua diperisteri karena isteri pertama meninggal dunia. Dari dua pernikahan ini Muso memiliki 21 orang putra-putri.
Selain aktif memimpin desa-desa, perannya dalam kegerejaan tidak bisa dikesampingkan. Pada saat itu dia juga menjadi salah satu tokoh dalam pendewasaan jemaat Mojowarno pada tahun 1923 dan menjadi salah satu anggota Raad Alit (bersama keponakannya yaitu Driyo Mestoko). Selain itu dia juga mempersembahkan tanah miliknya untuk menjadi Sinagoge Mojoroto dan menjadi pelopor berdirinya sinagoge-sinagoge di desa lainnya. Sinagoge saat itu berfungsi sebagai gereja alit (grejo cilik) dan atau gedung pertemuan desa / dusun untuk pertemuan-pertemuan sosial yang sampai saat ini masih dilestarikan. Dalam kepemimpinannya dia terkenal sosok yang tegas, jujur, disiplin dan dermawan. Hal ini masih sering disampaikan oleh beberapa saksi sejarah yang masih hidup.
Pada 1 Juli 1937 Mojowarno berduka karena salah satu tokoh perintis dan pembangun dipanggil Tuhan. Kyai Muso dimakamkan di makam Mojowangi bersebelahan dengan makam ayahnya Karolus Wiryoguno.


(WIRYO WIDIANTO)




RIWAYAT  R. IPRAYIM SETU BRONTODIWIRYO (1859-1910)


          1. GI  JEMAAT KERTOREJO
          2. PEMIMPIN BABAD HUTAN TUNJUNGPUTIH (CIKAL BAKAL DESA                       TUNJUNGREJO)
          3. KEPALA DESA TUNJUNGREJO
          4. GI JEMAAT TUNJUNGREJO

    Iprayim Setu Brontodiwiryo lahir di Mojoroto pada tanggal 19 juli 1859. Dia adalah putra ke 5 dari Karolus Wiryoguno atau putera ke 2 (hidup) adik Muso Jebus Wiryosentono.
    Sejak kecil dia bersama saudara-saudaranya ikut membantu orang tuanya menjalankan tugasnya sebagai lurah dan Bau Aris pertama di area pembukaan hutan Kracil (sekarang di wilayah kabupaten Jombang).
    Meskipun sibuk, Karolus mendidik anaknya secara sungguh-sungguh. Jika kakak Iprayim dipersiapkan dalam kemampuan membuka hutan dan pemerintahan desa, maka Iprayim dan adiknya (Simsim Mestoko) dipersiapkan untuk mampu di bidang kegerejaan.
    Sejak kecil Iprayim diserahkan kepada Johanes Kruyt (pendeta pengganti Jellesma) untuk didik menjadi Pamulang / Guru Injil. Dia mengikuti pelajaran agama dan diserahkan orang tuanya kepada Pdt. Johanes Kruyt. Pada masa mudanya bersama ayahnya dia didik perduli terhadap pembangunan gereja. Seperti ayahandanya dia juga memiliki jiwa seni, dia memiliki keahlian pertukangan kayu dan ukir. Bahkan bangku/ kursi dan meja milik gereja adalah karyanya. Peninggalannya sampai saat ini masih ada di beberapa rumah keluarga Karolus. Setelah matang dia terpilih menjadi Guru Injil (th 1880) dan diangkat menjadi Guru Injil di jemaat Kertorejo dan Ngoro mendampingi Guru Injil Kyai Sesam. Kiprahnya dalam membangun jemaat diakui oleh semua pihak pada saat itu sehingga dia sangat dicintai warga Kertorejo. Dia menjadi pelopor pembangunan gedung gereja Kertoarjo. Dia perancang dan koordinator dalam pendirian gedung gereja bahkan untuk hal kecil seperti pembuatan mimbar dan meja kursi dilakukan sendiri. Selain dia tinggal di Kertorejo, diapun memiliki tempat tinggal di Mojoroto (bersebelahan dengan rumah kakaknya Muso Jebus Wiryosentono), sekarang di Jalan Merdeka, Mojoroto, Mojowarno.
    Dikalangan keluarga sering di sebut dengan : Kyai Brontodiwiryo. Dia menikah dengan Sarilan putri Lurah Kertorejo Loso Surobrojo atau adik ipar Coolen. Iprayim mendapat anak 5  orang. Anak pertamanya bernama Prawito maka dia dipanggil Pak Prawito (karan anak atau sebutan seorang ayah dari anak pertamanya yang bernama Prawito Kertodiwiryo). Selain itu juga ada yang menyebut Mbah Eprayim. 
    Di saat anak-anaknya masih kecil, Iprayim ditinggal oleh isterinya karena meninggal dunia. Ini tantangan yang berat bagi seorang Pamulang yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Kondisi ini dilalui beberapa tahun dan pada satu keputusan Iprayim ingin menikah lagi. Adapun wanita yang dipilih adalah janda beranak satu dari Lurah Mojojejer. Keinginan ini tidak disetujui oleh Pdt. J. Kruyt. Namun karena tekadnya sudah bulat maka dia tetap memutuskan untuk menikah meskipun resikonya menentang dan mendapat sanksi dari Pdt. J.Kruyt. Setelah keputusan itu diambil, dia kemudian diberhentikan sebagai Guru Injil Kertorejo. Karena merasa wibawanya jatuh maka dia mulai tidak kerasan tinggal di Kertorejo dan berniat pindah ke Mojoroto mendekati keluarganya.
    Pada suatu ketika dia bertemu dengan Purbowiyoto, seorang guru asal dari Kertorejo yang mengajar di Citrodiwangan, Lumajang. Melalui perbincangan diberitahukan bahwa di daerah Lumajang selatan ada daerah yang subur. Dari ceritera ini, maka Iprayim berniat pergi ke daerah tersebut untuk melihat dari dekat. Kembalinya dari daerah ini, dia mengajak sanak saudaranya untuk ikut mencari penghidupan baru. Pada tanggal 17 Juli 1898 Iprayim pergi dari Kertorejo diikuti Sriadirojidin, Musdram, Dono, Garinah dan Sariban diiringi keluarganya masing-masing menuju Lumajang. Sesampainya di Yosowilangun, Lumajang selatan, Iprayim meminta ijin membuka hutan / lahan rawa kepada komisaris setempat. Setelah mendapat ijin mereka menuju Tanjungputih yang terletak sekitar 4 kilo meter dari Yosowilangun. 
    Para perintis ini mendirikan rumah panggung setinggi 4 meter untuk mencegah gangguan binatang buas. Basecamp mula-mula inilah akhirnya menjadi rumah keluarga Iprayim sampai hari ini. Di tengah kehidupan yang keras ini tidak lupa para perintis ini mendirikan rumah ibadah sederhana. Kemudian sebuah rumah ibadah yang kedua didirikan dengan bahan yang lebih baik dan kuat dan yang kelak menjadi gereja Tunjungrejo saat ini.
    Lahan rawa pasang surut ini ternyata sangat menyulitkan para perintis. Selain itu penyakit malaria juga menyerang dengan hebat sehingga banyak korban meninggal. Di tengah pencobaan ini Iprayim hampir putus asa dan ingin kembali ke Kertorejo / Mojoroto karena diapun masih memiliki tanah dan kehidupan yang nyaman secara ekonomi. Niat kembali ini dicegah oleh Sirun putra Garinah. Dia mengusulkan agar mengadakan doa khusus demi perbaikan hidup dan datangnya bantuan dari Tuhan.
    Pada tahun 1899 doa tersebut di jawab Tuhan melalui kedatangan keluarga / saudara dari Mojoroto, Mojowangi, Kertorejo dan Bongsorejo ke Tunjungputih. Selain itu datang pula pendatang dari Pare (Kediri) dan Parerejo (Sidorejo).
    Pembukaan lahan ini berjalan dengan cepat dan menunjukkan hasil yang lebih baik. Selain menjadi pemimpin babad / pemimpin masyarakat, Iprayim juga bertindak sebagai pemimpin rohani. Dalam kepemimpinannya dia terkenal sangat disiplin dan keras, sehingga beberapa orang ada yang keluar dari desa ini dan mendirikan desa baru seperti : Tulungrejo (oleh Kariman dari Bongsorejo), Sidoreno (oleh Pinkas / Kik Banteng Plonthang) dan Sidorejo (oleh pak Lipur). Ambisinya menciptakan desa teladan di lingkungan daerah tersebut menjadi akhirnya terwujud dan diikuti oleh desa-desa sekelilingnya.
    Pada akhir kemarao 1910, wabah kolera melanda Lumajang selatan. Istri ke dua Iprayim akhirnya meninggal karena penyakit tersebut. Seminggu kemudian tepatnya pada tanggal 19 Oktober 1910 Iprayim setu Brotodiwiryo ikut meninggal karena serangan kolera pada usia 55 tahun dengan putra-putri 6 orang.
    Desa Tunjungputih ini akhirnya dipimpin oleh putra sulungnya yang bernama Prawito Kertodiwiryo dan kemudian desa Tunjungputih ini diganti namanya menjadi desa Tunjungrejo sampai sekarang. Saat sang perintis ini meninggal warga sedang mempersiapkan gedung gereja yang baru dengan kapasitas 130 orang (pada tahun 1910). Putranya yang ke 3 bernama Tartip Iprayim menjadi tokoh penginjilan di Bali yang akhirnya melahirkan Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Karena jasanya namanya pun ditulis oleh beberapa buku sejarah gereja / penginjilan di Indonesia maupun luar negeri. 

    Catatan Sumber tulisan :

    1. Manuskrip, Simsim Mestoko th 1900 : “Sejarah Adegipun Pasamuan Kristen Jawi Mojowarno”
    2. Manuskrip, Simsim Mestoko th 1903: “Babading Pasamuan Ngoro”
    3. Manuskrip, Simsim Mestoko  th. 1903 : “Permulaan Orang Kristen Ngoro Menerima tanda Babtis pada tahun 1843”,
    4. Bau Aris R. Karolus Wiryoguno, R. Hadi Wahjono th. 2007
    (WIRYO WIDIANTO)




    RIWAYAT  R. SIMSIM MESTOKO (1862 – 1932)



    1. GI JEMAAT NGORO 
    2. PENDIRI GEDUNG GEREJA NGORO
    3. PENDIRI SEKOLAH KRISTEN NGORO


    Simsim Mestoko lahir di Mojoroto pada tanggal 25 Oktober 1862. Dia putera ke 6 dari Kyai Karolus Wiryoguno atau anak ke 3 hidup (adik Kyai Muso Jebus Wiryosentono dan Kyai Iprayim Setu Brontodiwiryo). Dikalangan keluarga sering di sebut dengan : Kyai Simsim.
    Pada waktu kecil dia telah disekolahkan calon guru orangtuanya di Mojowarno. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga Karolus diwarisinya dengan baik. Dia dikenal sebagai anak yang rajin belajar, berkemauan maju dan pandai. Pada tingkatan kelas yang tinggi dia minta dididik oleh J. Kruyt (seperti kakaknya Iprayim). Permintaan ini dikabulkan. Dalam waktu singkat karena kemampuannya maka dia diikutkan ujian guru bantu di Mojokerto dan lulus pada 29 juli 1878. Setelah dewasa dia dijadikan guru di sekolah Mojowarno pada tahun 1886 – 1893. Karena kemampuan lebihnya lagi maka dia ditetapkan menjadi pamulang (guru injil) di Jemaat Ngoro membantu kakaknya (Iprayim) dan Kyai Sesam (yang saat itu sakit keras). Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember 1893 dimana saat itu Jemaat Kertorejo dan Ngoro masih dipimpin Kyai Sesam dibantu Iprayim. 
    Jemaat Ngoro menyambut gembira atas keputusan tenaga bantuan oleh Simsim Mestoko. Kegiatan perkunjungan ke rumah dan pelajaran agama untuk anak-anak (Reboan-Kemisan) digiatkan. Peningkatan kegiatan berjematan mulai meningkat dengan pertambahan warga jemaat baru dan pertobatan-pertobatan warga yang sebelumnya melakukan perbuatan yang tidak baik. Pada saat itu tercatat 280 jiwa yang rajin beribadah.
    Pada tahun-tahun sebelumnya gereja tidak memiliki tanah (bangunan di atas tanah orang lain / menumpang). Pada kepemimpinan Simsim Mestoko, jemaat mulai diajak memikirkan memiliki gereja di tanah milik sendiri. Pada bulan Mei 1894 gereja lama dibongkar dan dipindahkan ke tanah milik sendiri. Gereja diresmikan dan didoakan Pdt, Johanes Kruyt pada 10 Juni 1894 
    Setelah Kyai Sesam meninggal dunia pada 30 September 1894, maka secara penuh pada tanggal 16 Desember 1894 jemaat Ngoro dipimpin Simsim Mestoko. 
    Sepak terjang Simsim mestoko tidak berhenti sampai di situ. Pada tanggal 1 Oktober 1895 dia membuka sekolah dan yang mengajar dia sendiri. Saat itu murid pertamanya sejumlah 12 orang. Pada tahun itu juga Simsim Mestoko membangun sekolah yang besar dan kuat (terbuat dari kayu Taun) di Tebel. Peletakan batu pertama pada 1 Nopember 1895 dan pembangunan selesai pada tanggal 27 Maret 1896 dengan mengadakan perayaan yang besar.
    Kembali pada tahun 1895 karena secara ekonomi, banyak warga jemaat yang kekurangan makan maka atas ide Simsim Mestoko dan persetujuan warga jemaat Ngoro, dibuatlah gerakan pengumpulan padi pada waktu panen untuk menolong warga jemaat yang kekurangan makan. Gerakan pengumpulan padi ini terkenal dengan nama : “PANTUN SARUJUK”. 
    Pantun Sarujuk ini seperti yang berjalan di Mojowarno sebelumnya yaitu : Lumbung Miskin dan Lumbung Pirukunan yang menjadi cikal bakal lahirnya hari raya Undhuh-undhuh.
    Pada masa rendheng / penghujan para warga bisa meminjam padi tersebut untuk. Pada perkembangannya tidak hanya pemenuhan kebutuhan pangan, namun bisa diambil / dipinjam untuk keperluan-keperluan kecil lainnya untuk kebutuhan jemaat. Gerakan ini mirip dengan kegiatan yang diadakan jemaat Mojowarno pada tahun 1852 dan 1871 dengan berdirinya Lumbung Miskin dan Lumbung Pirukunan.
    Pada masa kepemimpinan Simsim Mestoko nampak pembangunan-pembangunan sekolah, gedung gereja, pengadaan sarana prasarana gereja (meja-bangku) serta perbaikan ekonomi warga jemaat. Sehingga pada tahun 1900 tercatat pertumbuhan jemaat dari 280 jiwa (tahun 1894) menjadi 418 jiwa. Selain itu adalah karya tulisan dari Simsim Mestoko yang akhirnya menjadi dasar penulisan sejarah yaitu :

    1. Manuskrip 1900 : “Sejarah Adegipun Pasamuan Kristen Jawi Mojowarno”
    2. Manuskrip 1903 : “Babading Pasamuan Ngoro”
    3. Manuskrip th. 1903 : “Permulaan Orang Kristen Ngoro Menerima tanda Babtis pada tahun 1843”,  
    Kyai Simsim Mestoko menikah dengan R.Ng. Yasminah dan dikaruniai putra-putri 12 orang. . Setelah menikah dam memiliki putra disebut Pak Driyo (karan anak atau sebutan dari anak pertamanya yang bernama Driyo Mestoko). Pada tanggal 2 Desember 1932 Jemaat Ngoro dan Mojowarno berduka, karena putra terbaiknya dipanggil Tuhan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Mbah Simsim telah menjadi tokoh pembangunan dan pendidik di jemaat tersebut. Beliau dimakamkan di Makam desa Kertorejo.


    Catatan Sumber tulisan :

    1. Manuskrip, Simsim Mestoko th 1900 : “Sejarah Adegipun Pasamuan Kristen Jawi Mojowarno”
    2. Manuskrip, Simsim Mestoko th 1903 : “Babading Pasamuan Ngoro”
    3. Manuskrip, Simsim Mestoko  th. 1903 : “Permulaan Orang Kristen Ngoro Menerima tanda Babtis pada tahun 1843”.
    4. Bau Aris R. Karolus Wiryoguno, R. Hadi Wahjono th. 2007.
    (WIRYO WIDIANTO)




    RIWAYAT  R. MATDAKIM MATTHEUS




    1. PENGINJIL JAWA PERTAMA DI SURABAYA 
    2. PENDIRI JEMAAT KRISTEN JAWA DI SURABAYA
    3. PENDIRI GEDUNG GEREJA GKJW GUBENG SURABAYA


       Matdakim adalah anak pertama dari R.A. Jakimah dan Haji Jen. R.A. Jakimah adalah putri pertama dari Nyi Maimunah Kertowongso (bibi dari Karolus Wiryoguno) dan tinggal di kampung Keputran, Surabaya, maka Matdakim adalah cucu Nyi Maimunah Kertowongso dan merupakan keponakan Karolus Wiryoguno.
         Pada tahun 1852 Matdakim diajak neneknya mengunjungi Karolus di pedesaan baru di Mojoroto, Mojowangi dan Mojowarno. Nyai Maimunah Kertowongso dan Matdakim merasa bangga dan takjub melihat keadaan pedesaan yang baru ini, tampak kesuburan tanaman dan persawahan serta keteraturan perumahannya. Dia juga tertarik dengan agama yang dianut oleh keponaan dan saudara-saudaranya. Karolus Wiryoguno mengajak mereka berkenalan dan mengikuti pengajaran Paulus Tosari dan Ds. J.E. Jellesma. Setelah menerima agama baru dan dibaptis oleh Ds. J.E. Jellesma di Gereja Mojowarno, Nyai Maimunah Kertowongso diberi nama ”Maria Magdalena” dan Matdakim diberi nama ”Mattheus”.


       Matdakim Mattheus diarahkan Karolus Wiryoguno mengikuti pelajaran calon pelayan jemaat Kristen selama satu tahun bersama murid-murid yang lain, dipimpin Ds. J.E. Jellesma. Sedangkan neneknya Nyai Maria Magdalena Maimunah Kertowongso kembali ke Surabaya diantar oleh Samodin Simson dan Baren Eliso (adik-adik Karolus Wiryoguno).

         Setelah menerima pendidikan selama 1 (satu) tahun (1852 –1853), Matdakim Mattheus, menerima tugas dari JE. Jellesma melakukan penginjilan ke Surabaya kota. Dia kembali ke Kampung Keputran berkumpul dengan ibu dan neneknya (Maria Magdalena Kertowongso).

         Pada tahun 1853 di dalam Kota Surabaya masih belum ada seorang Indonesia (Jawa) yang memeluk agama Kristen kecuali mereka berdua. Yang dikerjakan yaitu mengabarkan Injil keliling dengan mengunjungi rumah-rumah kenalannya secara berulang-ulang dan berganti-ganti. Tempat-tempat yang didatangi ialah Tambakgringsing, Tambangboyo, Semarang dan Polak. Pada tahun 1854 benih yang disebarkan mulai tumbuh. Ada 7 orang yang bersedia menerima baptis di Mojowarno dan dilakukan oleh Ds. J.E. Jellesma.

         Orang-orang tersebut yaitu :

         1. Dokter Jawa Yohannes Madhi
         2. Arpasat (seorang Sumatera)
         3. Binjamin (seorang Jakarta)
         4. Incik
         5. Musa
         6. Choa Wie Pin (pedagang)
         7. Tan Khun Thik (pedagang).


         Orang-orang ini berada di Kampung Tambak Gringsing, Pesapen. Mereka membantu jalannya pemberitaan Injil pertama di Surabaya berupa moril dan materiil. Selanjutnya di tahun itu juga 1854 di Pesapen dibuatlah tempat kebaktian hari Minggu yang dilayani oleh G.I. Matdakim Mattheus sendiri. Pada perjalanan selanjutnya di Kampung Tambangboyo, Matdakim Mattheus berkenalan dengan seorang penjahat terkenal yang sering melakukan perampokan, pembunuhan dan pencurian. Orang ini bernama Kik Buko. Setelah mengenal Matdakim Mattheus dan mendengar kabar baik, akhirnya Kik Buko bertobat bersedia mengakhiri segala perbuatannya. Melalui petunjuk-petunjuk GI Matdakim Mattheus, dia menerima pendidikan katekisasi dan dibaptiskan. Dia aktif membantu Matdakim Mattheus dalam Pekabaran Injil. Selain Kik Buko ada juga yang bernama Pak Kamsinah mertua Pak Daniel sesama penduduk Kampung Tambangboyo yang ikut menerima baptisan bersama Kik Buko.

         Sejak pertobatan di Tambakgringsing, Pesapen dan Tambangboyo ini, Pemberitaan Injil di Kota Surabaya dapat berjalan lancar dan berkembang meluas. Bantuan orang-orang Kristen baru pun berdatangan sampai seorang bangsa Belanda bernama Tuan Polack pemilik pabrik besi di Kampung Polak tertarik juga dengan pekerjaan Matdakim Mattheus yang sedang berkembang itu.

       Perkenalan Tuan Polack dengan Matdakim Mattheus menambah kemajuan Pemberitaan Injil di kota Surabaya. Karena itu perlu ada tempat tertentu yang dipakai untuk kebaktian Minggu bagi warga Kristen di bagian Surabaya Timur. Untuk kepentingan tersebut Tuan Polack bersedia menyerahkan sebagian rumahnya untuk tempat kebaktian Minggu. Dan ia juga memberi hadiah sebuah rumah gedung kecil di Kampung Polak kepada Madakim Mattheus agar dapat melayani warga jemaatnya dengan baik.

       Dengan hadiah rumah dari Tuan Polack ini, pindahlah ia dari Kampung Keputran ke Kampung Polak bersama neneknya Maria Magdalena yang akan mengatur rumah tangga cucunya, sebab cucunya saat itu masih belum beristeri. Dari Tuan Polack ia diberi nasihat agar mau mencari seorang wanita remaja yang baik untuk dijadikan isteri agar rumah tangganya dapat teratur dengan baik. Nasihat itu diterima dengan baik, untuk itu dia akan mencarinya di Mojoroto. Niatnya ini disampaikan kepada Karolus Wiryoguno, dan Karolus Wiryoguno saat itu menunjukkan cucu dari Simon Suryo yang bernama Yustinah (putri Wuryan Agustinah). Tatkala diadakan perundingan tentang pelamaran Matdakim Mattheus kepada Wuryan Agustinah (ibunya yang sudah janda), akhirnya lamaran tersebut dapat diterimanya. Lalu hari pernikahan pun ditetapkan dan dilaksanakan di Gereja Mojowarno. Selama perkawinan dengan isterinya, mereka dapat hidup rukun dan dikarunai sebelas putera dan puteri.

         Warga Jemaatnya pun bertambah meningkat karena bertambahnya warga baru yang datang dari luar kota yang mencari pekerjaan di Kota Surabaya. Karena Jemaat yang dipimpinnya telah meningkat pesat sampai-sampai rumah kebaktian di Kampung Polak tidak lagi mencukupi untuk menampung warganya, oleh karena itu dia berjuang menemui Walikota Surabaya untuk mohon tanah bagi Persekutuan Kristen Jawa di Surabaya. 
    Permohonan tersebut akhirnya diterima baik dan tanah yang diberikan ialah di daerah Gubeng, Karangmenjangan. Karena di kemudian hari Walikota hendak membangun gedung untuk sekolah kedokteran (STOVIA), maka tanah yang diberikan itu ditukar dengan tanah seberang barat sungai yang sekarang telah didirikan gedung Gereja, gedung-gedung kompleks gereja dan persekolahan.

         Semula yang didirikan ialah sebuah bangunan berbilik dua yang digunakan untuk membuka Sekolah Dasar Kristen di samping pada hari Minggu digunakan untuk kebaktian. Bangunan gedung yang kedua ialah gedung Gereja yang dipakai sampai sekarang ini. Kemudian dibangun Pastori di sampingnya (Jl. Dharmahusada 25-27 Surabaya) dan di belakangnya dibangun gedung Sekolah, yang sekarang dikenal dengan gedung sekolah YBPK-GKJW (Jl. Luntas 33 Surabaya).

         Selama Matdakim Mattheus berada di Kampung Polak, banyak tamu yang berkunjung kepadanya antara lain Ds. J. Kruyt Sr. (Pengganti Ds. J.E. Jellesma) dan A. Kruyt Jr. untuk minta pertolongannya mencari hadiah natal bagi anak-anak Sekolah Dasar Kristen di Mojowarno dari toko-toko, pabrik-pabrik untuk dibelikan bahan-bahan tekstil (kain), alat-alat sekolah dan permainan anak-anak. Juga tamu-tamu Gereja dari luar Jawa datang berkunjung ke keluarga Matdakim Mattheus sampai Tuan Keukenius dari Suriname juga pernah diterima bermalam di rumahnya. Dan putera Ds. J.E. Jellema yang pernah dibimbing di Mojowarno telah menjabat menjadi Residen di Menado. Pada waktu menerima pengangkatannya berkenan datang ke Kampung Polak untuk memberi hadiah uang. Uang tersebut dibelikan sebuah jam duduk yang bertutup kaca serta satu potret pribadi Tuan Residen tersebut untuk dijadikan kenang-kenangan masa kecilnya. Demikian Matdakim Mattheus di Surabaya menjadi terkenal dan mendapat simpati dari semua golongan masyarakat di Surabaya dari pihak toko-toko/pedagang, pabrik-pabrik, badan-badan resmi dan sebagainya sampai hidup dan kebutuhannya sehari-hari dapat dikatakan cukup, dari berkat pertolongan semua kenalannya itu.

         Ia hidup cukup dan rukun dalam keluarganya serta taat dan patuh atas tugas panggilannya dalam melayani Injil Tuhan serta jemaatnya. Mulai dari awal sampai akhir tenaga dan jiwanya dicurahkan untuk memberi pertolongan para penderita sakit. Terutama pada saat Surabaya terjangkit wabah kolera dan bahaya banjir. Kebajikan inilah yang juga menjadi sebab sebagian besar masyarakat Surabaya pada saat itu bersimpati padanya. Karena itu Jemaat Kristen Jawa sering dan mudah mendapatkan bantuan dari berbagai golongan masyarakat Surabaya.

         Ketika pembangunan Gereja di Mojowarno dilaksanakan (1879 – 1881), Matdakim Mattheus, atas permintaan Karolus Wiryoguno, berinisiatif untuk menghubungi seorang Haji dan Tuan Polack yang tinggal di Kampung Polak, Surabaya, agar gedung Gereja di Mojowarno dapat memiliki lonceng, sesuai keinginan Karolus Wiryoguno. Akhirnya Gereja di Mojowarno mendapat hadiah sebuah Lonceng seperti yang diinginkan Karolus Wiryoguno. Lonceng besar itu terukir lambang Kesultanan Bangkalan dan ditempatkan di atas menara Gereja Mojowarno. 
    Menurut catatan dan objek yang ada, Lonceng yang berlambang Kesultanan Bangkalan, di dunia hanya ada dua, yang satu dibuat lebih dulu (The Cakraningrat Bell, 1840) disimpan di Museum Jakarta.

       Setelah isterinya meninggal pada tahun 1902, ia kawin lagi dengan Marmat. Dengan isteri yang baru ini kehidupannya kurang harmonis. Pada permulaan tahun 1907 ia meninggal dunia di Kampung Polak, Surabaya. Jenazahnya dimakamkan di makam Kristen, Kampung Gubeng Kuburan. Demikian besar penghormatan jenazah almarhum Matdakim Matheus dari masyarakat Surabaya, karena ia telah berjasa bagi pekerjaan Tuhan dan bagi sesama manusia. Karya Matdakim Mattheus ini kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama : Ds. Jerobeam Mattheus atau Ds. J. Matheus Jr.

    (WIRYO WIDIANTO)



    RIWAYAT  R. KLAAS WARIDIN WIROSASTRO


    1.       PEMIMPIN BABAD HUTAN BONGSOREJO
    2.       KEPALA DESA BONGSOREJO PERTAMA
            ( CIKAL BAKAL GKJW JEMAAT BONGSOREJO )


    Klaas Waridin Wirosastro adalah putera bungsu dari pasangan Kawistah Tabitah dengan Kyai Leber ( Lahir tahun 1819 ). Ibunya ( Kawistas Tabitah )  adalah kakak kandung Kyai Karolus Wiryoguno pemimpin babad hutan Kracil dan Bau Aris I Mojowarno. Dia dibabtiskan pada tanggal 13 April 1844 di gereja Protestan Surabaya. Keluarga Kawistah Tabitah + a. Demang Urawan, b. Kyai Leber memiliki putra-putri sebagai berikut :
            1.       Rubertus
            2.       Ider Asiel ( Pamulang Pasamuan Mojowarno pengganti Paulus )
            3.       Marius ( kepala desa Mojoroto pengganti Karolus )
            4.       Naptali
            5.       Beci
          6.       Andris
    7.       Kasminah
    8.       Klaas Waridin Wirosastro

    Kyai Klaas Waridin Wirosastro masuk dalam rombongan keluarga besar ini, hidup berpindah dari Sidokare ( Sidoarjo ), ikut membuka Hutan Kracil, mendirikan desa Mojowarno, Mojowangi dan Mojoroto.
    Setelah beberapa tahun nyuwito dan membantu keluarga besarnya tinggal di Mojoroto, maka pada 22 Nopember 1870 Klaas Waridin Wirosastro memutuskan mandiri. Dia mengikuti jejak pamannya Kyai Karolus Wiryoguno melanjutkan pembukaan hutan yang awalnya untuk keluarga kecilnya.
    Karolus membimbingnya dan nunjukkan tempat yang dinilai bagus untuk membangun desa dan lahan pertanian. Daerah itu berada di hutan sebelah barat hutan Godek.
    Setelah ijin Karolus diterima, didampingi Trisiah Delimah ( isteri ) dan Pingkas Waridin ( anak sulung) serta kerabat lainnya, mereka berangkat membuka hutan tersebut.
    ( Trisiah Delimah adalah keluarga dari Yusibah Dariyah isteri Karolus Wiryoguno )
    Tiga tahun setelahnya yaitu tahun 1873 hutan ini berhasil dibuka dan dinamakan desa Bongsorejo.
    Desa Bongsorejo terletak di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang (dahulu termasuk wilayah Japan – Mojokerto).
    Sepuluh tahun kemudian (th.1883), dia membangun gereja sederhana ( separo bangunan menggunakan bahan bata merah ).
    Pada tahun 1898, Kyai Klaas Waridin Wirosastro berhasil membangun gedung gereja permanen, dibantu oleh Kyai Dermorejo dari Mojowarno sebagai pelaksana pembangunannya. Gedung gereja ini sampai hari ini masih kokoh berdiri dan menjadi gedung Jemaat Kristen Bongsorejo.
    Di tahun yang sama dia memberikan tanah untuk inventaris desa/ tanah bengkok seluas 7 bau untuk keperluan Guru Injil dan Guru Sekolah. Di depan Gereja ini ( seberang jalan ) dibangun komplek bangunan Sekolah dan rumah Kapanditan. Berhasilnya pembangunan desa dan gedung gereja ini mengundang para sanak saudara dari Kyai Klaas Waridin Wirosastro untuk ikut serta mengembangkan desa ini. Maka tidak dipungkiri bahwa warga desa ini dihuni oleh keluarga besar sendiri dan jemaatnya dikenal dengan jemaat keluarga.
    Kepemimpinan desa Bongsorejo selanjutnya diteruskan oleh anaknya nomer dua yaitu: Kyai Akas Wariman. Setelah kepemimpinan Kyai Akas Wariman, maka selanjutnya diteruskan oleh anaknya sendiri ( cucu Kyai Klaas Waridin Wirosastro )  yang bernama Kyai Sakarya.
    Susunan silsilah Kyai Klaas Waridin Wirosastro adalah sebagai berikut:

    KLAAS WARIDIN WIROSASTRO                      +                a. Trisiah Daliman, b. Saliyah
      1.a.   Pinkas Waridin                                     +               a. Jakominah, b. Tuminah
      2.      Akas Wariman                                      +               Artinah Dami
      3.      Akasiyo                                                  +               a. Dinah, b. Tiyar
      4.      Alasminah                                             +               Lewi
      5.      Marsinah                                               +                Kusen
      6.      Ristinah                                                 +               Wagiso
      7.      Thomas Wiratmo                                 +               a. Jamsinah, b. Temu
      8.b.   Kariman al. Kimas                               +               tak dikenal
      9.      Ermas                                                    +               tak dikenal
     10.     Ergimas                                                +                a. Tak dikenal, b. Tak dikenal
     11.     Erginah                                                 +                Kariso
     12.     Mardikoyo                                             +                Sumirah

    Sampai saat ini penduduk Bongsorejo masih didiami oleh keturunan keluarga besar Nyai Kawistah Tabitah (kakak kandung Kyai Karolus Wiryoguno).
    Demikianlah Sejarah Babad Desa dan Jemaat Bongsorejo, cikal bakal berdirinya GKJW Jemaat Bongsorejo.

    Sumber Tulisan : 
    1.  Buku Panitya HUT 50 Tahun Jemaat GKJW Bongsorejo.
    2.  Tulisan Pirno Maretno th. 2000

    (WIRYO WIDIANTO)