“Dhuh Gusti, Ingkang Kawula Purugi Sinten Malih? Paduka Ingkang Kagungan Pangandikaning Gesang Langgeng”

Rabu, 30 Mei 2018

TELAH TERBIT BUKU BARU :



Yang berminat :

Tersedia di  Bukalapak
                    Shopee








SERAT RAMA KAWULA
Klik Gambar untuk memperbesar

Minggu, 27 Mei 2018

SEJARAH AWAL MOJOWARNO


        Selama ini runtutan atau mata rantai sejarah yang dijadikan dasar untuk menguraikan historisitas tidak sampai pada sumbernya, yaitu pelaku sejarah. Seharusnya, untuk memperoleh kebenaran sejarah sebisa mungkin mengumpulan data sampai kepada pelaku sejarah, atau minimal sampai pada orang yang hidup pada jaman yang paling dekat dengan jamannya pelaku sejarah, semua akan menjadi sumber primer. Tak mengherankan jika Karolus Wiryoguno, pelaku sejarah, tokoh penting dan utama dalam sejarah Mojowarno, seakan diabaikan begitu saja.
            Mencermati tentang babad Hutan Keracil, maka harus dapat dipisahkan pengertian babad Hutan Keracil dan babad lahan Mojowarno. Mojowarno adalah lahan yang merupakan bagian dari Hutan Keracil. Sesuai kesepakatan, Mojowarno diserahkan kepada Ditotruno, Mojowangi untuk Eliasar Kunto dan Mojoroto untuk Karolus Wiryoguno. Di samping itu, ketika kita berbicara masalah Hutan Keracil dan Mojowarno, maka perspektif kita haruslah memandang Mojowarno pada saat peristiwa sejarah itu terjadi, bukan dengan perspektif saat ini. Karena Mojowarno yang sekarang adalah Mojowarno yang terdiri dari beberapa desa. Jika hal ini dipaksakan, maka yang ada cuma penjelasan yang carut-marut - yang terjebak pada kesalahan fatal.

Baca Selengkapnya >>
1. https://archive.org/details/MENYINGKAPTABIRSAM
2. https://www.academia.edu/36691336/MENYINGKAP_TABIR_SEJARAH_AWAL_MOJOWARNO.pdf
3. https://id.scribd.com/document/379888065/Menyingkap-Tabir-Sejarah-Awal-Mojowarno

Jumat, 25 Mei 2018

SEJARAH RIYAYA UNDHUH-UNDHUH MOJOWARNO


Riyaya Undhuh-undhuh adalah hari raya persembahan yang berasal dan tumbuh dari kelompok Kristen. Hari raya ini tumbuh menjadi tradisi sekitar tahun 1930, setelah Jemaat Mojowarno menyatakan diri menjadi Jemaat dewasa pada tahun 1923. Kebiasaan ini dinilai baik untuk mendukung kemandirian jemaat lalu menular ke jemaat sekitarnya.
Ciri khas Riyaya Undhuh-undhuh di Jemaat Mojowarno sampai saat ini tetap dipertahankan. Ciri khas tersebut yaitu berupa bentuk bangunan persembahan yang dirangkai/dibentuk dari hasil bumi, lalu diarak oleh seluruh warga (anak, remaja dan orang tua) ke gereja induk dengan meriahnya. Tidak mengherankan jika pemerintah kabupaten Jombang memperhatikan, mendukung serta memasukkan tradisi ini sebagai asset pariwisata budaya daerah.
Manuskrip : “Permulaan Orang Kristen Ngoro Menerima tanda Baptis pada tahun 1853”, oleh Simsim Mestoko, Pamulang Jemaat Ngoro th. 1903 (diterjemahkan ibu Madoedari Wiryoadiwismo) halaman 3, 4 :
Sesudah kepergian Kyai Yakobis, pangkat lurah digantikan Ditotruno. Belum lama kemudian dia diusir oleh Coolen, tetapi bukan Karena baptis, ia berlaku curang (tidak jujur / jw. Ngenthit), masalahnya waktu disuruh membeli kerbau harga yang dilaporkan lebih dari yang sebenarnya. Selain dia ada 2 orang lagi yang diusir oleh Coolen karena memiliki kesalahan lain yaitu Kyai Enos Singotruno dan Kyai Yakup”.

Kamis, 24 Mei 2018

PANGERAN COKROKUSUMO (R. ABDURRASID)

Disalin oleh : WIRYO WIDIANTO

R. Abdurrasid alias Pangeran Cokrokusumo adalah putera Sultan Cokroadiningrat II atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bangkalan II. Dia adalah anak yang ke-7 (tujuh) dari 13 (tiga belas) bersaudara yang lahir dari Ibu: R.A. Knoko. Bila dihitung dari keseluruhan putra Sultan Cokroadiningrat II, Abdurrasid tercatat sebagai anak ke-25 (dua puluh lima) dari 46 (empat puluh enam) orang anak.
            Abdurrasid dilahirkan di Bangkalan pada tahun 1778 dan dibesarkan dalam lingkungan Kesultanan. Setelah cukup dewasa, ia dididik ilmu keprajuritan dan ilmu tata negara sebagaimana layaknya para putera raja (Sultan) .
Sesuai kebiasaan masyarakat pada saat itu, Abdurrasid juga mencari ilmu-ilmu kebatinan dan kanuragan. Berguru pada orang-orang ”pandai”, bertapa di gua-gua, di hutan-hutan dan di gunung adalah pekerjaannya sehari-hari. Hal ini untuk meningkatkan pertahanan diri dalam menghadapi ancaman, baik secara fisik maupun mistik yang saat itu masih sangat dipercayai. Lebih-lebih pada jaman itu sering terjadi pertikaian dan peperangan antar kelompok atau kerajaan akibat ulah pemerintah Belanda yang melakukan taktik ”adu domba” .