“Dhuh Gusti, Ingkang Kawula Purugi Sinten Malih? Paduka Ingkang Kagungan Pangandikaning Gesang Langgeng”

Jumat, 25 Mei 2018

SEJARAH RIYAYA UNDHUH-UNDHUH MOJOWARNO


Riyaya Undhuh-undhuh adalah hari raya persembahan yang berasal dan tumbuh dari kelompok Kristen. Hari raya ini tumbuh menjadi tradisi sekitar tahun 1930, setelah Jemaat Mojowarno menyatakan diri menjadi Jemaat dewasa pada tahun 1923. Kebiasaan ini dinilai baik untuk mendukung kemandirian jemaat lalu menular ke jemaat sekitarnya.
Ciri khas Riyaya Undhuh-undhuh di Jemaat Mojowarno sampai saat ini tetap dipertahankan. Ciri khas tersebut yaitu berupa bentuk bangunan persembahan yang dirangkai/dibentuk dari hasil bumi, lalu diarak oleh seluruh warga (anak, remaja dan orang tua) ke gereja induk dengan meriahnya. Tidak mengherankan jika pemerintah kabupaten Jombang memperhatikan, mendukung serta memasukkan tradisi ini sebagai asset pariwisata budaya daerah.
Manuskrip : “Permulaan Orang Kristen Ngoro Menerima tanda Baptis pada tahun 1853”, oleh Simsim Mestoko, Pamulang Jemaat Ngoro th. 1903 (diterjemahkan ibu Madoedari Wiryoadiwismo) halaman 3, 4 :
Sesudah kepergian Kyai Yakobis, pangkat lurah digantikan Ditotruno. Belum lama kemudian dia diusir oleh Coolen, tetapi bukan Karena baptis, ia berlaku curang (tidak jujur / jw. Ngenthit), masalahnya waktu disuruh membeli kerbau harga yang dilaporkan lebih dari yang sebenarnya. Selain dia ada 2 orang lagi yang diusir oleh Coolen karena memiliki kesalahan lain yaitu Kyai Enos Singotruno dan Kyai Yakup”.

Mereka hidup secara berpindah-pindah ke utara desa Ngoro menuju hutan Bayeman, hutan Gebang Klanthing, kemudian masuk Hutan Dagangan (selatan hutan Keracil) dan mereka ikut berdukuh disitu, bergabung dengan beberapa penduduk yang sudah ada. Hutan ini dinamakan Dagangan karena merupakan tempat pertemuan pedagang pada waktu itu. Tidak lama kemudian datang beberapa orang Kertorejo yang diusir Coolen hal babtisan bergabung di situ.
Beberapa saat kemudian rombongan dari Sidokare (Sidoarjo) yaitu keluarga Karolus Wiryoguno berjumlah 66 orang dewasa dan 21 orang anak–anak datang ke hutan Dagangan. Sebelumnya mereka memperoleh baptisan di Gereja Protestan Belanda (Indische Kerk) Surabaya (setelah Dasimah dkk ). Setelah babtis, melalui bantuan pendeta Belanda bernama tuan Maher keluarga Karolus berhasil menerima surat ijin buka hutan dari Residen Surabaya. Mereka berangkat ke Japan dan Wirosobo untuk mengantar surat tembusan kepada Asisten Residen Daendeles di Japan (Mojokerto) dan Wedana di Wirosobo (Mojoagung). Setelah itu mereka menuju Hutan Kracil.
Untuk membuka hutan yang sangat luas, tidak bisa dilakukan dengan menebang pohon sendiri-sendiri tanpa perencanaan dan kerjasama. Oleh karena itu Karolus Wiryoguno berunding dengan Ditotruno. Pembukaan hutan Kracil dimulai dari sebelah utara rumah Ditotruno dan seberang barat sungai Jiken untuk pemondokan dulu selanjutnya untuk lahan sawah. Gubug-gubug dibuat dari kayu hutan, atap dari pohon rotan. Setelah 10 hari lamanya gubug-gubug ini jadi, rombongan ini pamit untuk pindah ke tempat yang baru. Selanjutnya Karolus berunding dengan Ditotruno bahwa dukuhan yang baru dibuka ini dinamakan MOJOWARNO. Kata “MOJO” diambil dari kata Mojopahit karena hutan Kracil dahulu masuk wilayah Mojopahit. Adapun “WARNO” karena penghuninya berasal dari berbagai daerah, berlatar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda (jw. warno-warno). Dalam pembicaraan ini Ditotruno menyetujui, bahkan dukuhan Dagangan yang ditempati inipun disatukan menjadi dusun Mojowarno (Manuskrip : Babad Alas Keracil,  Musa Jebus 1900 : diterjemahkan Pdt. Muljodihardjo 25 Nop 1974).
Ditotruno membuka hutan barat sungai di sebelah Selatan, yang disebut “Mojowarno awal”. Sedang Karolus Wiryoguno selanjutnya membuka sebelah barat sungai di sebelah Utara, yang disebut “Mojowangi awal”. Jadi Mojowarno awal dan Mojowangi awal lahir hampir bersamaan.

(Selengkapnya dapat dibaca dalam Buku "Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno").
Silahkan pesan bukunya dengan klik langsung  >>