“Dhuh Gusti, Ingkang Kawula Purugi Sinten Malih? Paduka Ingkang Kagungan Pangandikaning Gesang Langgeng”

Kamis, 24 Mei 2018

PANGERAN COKROKUSUMO (R. ABDURRASID)

Disalin oleh : WIRYO WIDIANTO

R. Abdurrasid alias Pangeran Cokrokusumo adalah putera Sultan Cokroadiningrat II atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bangkalan II. Dia adalah anak yang ke-7 (tujuh) dari 13 (tiga belas) bersaudara yang lahir dari Ibu: R.A. Knoko. Bila dihitung dari keseluruhan putra Sultan Cokroadiningrat II, Abdurrasid tercatat sebagai anak ke-25 (dua puluh lima) dari 46 (empat puluh enam) orang anak.
            Abdurrasid dilahirkan di Bangkalan pada tahun 1778 dan dibesarkan dalam lingkungan Kesultanan. Setelah cukup dewasa, ia dididik ilmu keprajuritan dan ilmu tata negara sebagaimana layaknya para putera raja (Sultan) .
Sesuai kebiasaan masyarakat pada saat itu, Abdurrasid juga mencari ilmu-ilmu kebatinan dan kanuragan. Berguru pada orang-orang ”pandai”, bertapa di gua-gua, di hutan-hutan dan di gunung adalah pekerjaannya sehari-hari. Hal ini untuk meningkatkan pertahanan diri dalam menghadapi ancaman, baik secara fisik maupun mistik yang saat itu masih sangat dipercayai. Lebih-lebih pada jaman itu sering terjadi pertikaian dan peperangan antar kelompok atau kerajaan akibat ulah pemerintah Belanda yang melakukan taktik ”adu domba” .
Abdurrasid sendiri beranggapan bahwa memenuhi permintaan Pemerintah Hindia Belanda ini sama dengan menciptakan penderitaan bagi sanak keluarganya. Akan tetapi ia sadar bahwa cepat atau lambat, dirinya akan menerima giliran memimpin barisan Madura untuk melawan sesama bangsa pribumi. Jika menolak tugas berarti melawan pemerintah Hindia Belanda dan itu akan berakibat buruk baginya.
Atas dasar itulah, akhirnya Abdurrasid memutuskan meninggalkan Bangkalan dengan membawa isteri, anak-anak dan kerabat dekatnya. Selain menghindari tugas dari Pemerintah Hindia Belanda tadi, Abdurrasid juga bercita-cita agar hari depan keluarga, anak-anak dan keturunannya bisa hidup damai dan sejahtera. Kejadian itu terjadi pada tahun 1835 diman dia meninggalkan anak sulungnya : R. Muhamad Hanafiah gelar R. Ario Cokrokusumo. (Silsilah I) di Bangkalan.
            Rombongan Abdurrasid menyeberangi selat Madura dan mendarat di pantai Gresik. Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah perguruan (pesantren) Dosermo melalui Surabaya dan Wonokromo.
Dalam perjalanan ini mereka berusaha menyembunyikan jati diri dengan merubah nama dan identitas diri lainnya. Pangeran Cokrokusumo mengubah namanya menjadi Kyai Mendhung.
Di tempat baru ini rombongan Kyai Mendhung tinggal dan mencoba menyesuaikan diri menjadi nelayan. Mereka membeli beberapa jukung (perahu kecil untuk menangkap ikan), peralatan untuk menangkap ikan, jala dan sebagainya dengan uang bekal yang dibawa dari Bangkalan. Hasil tangkapannya dijual ke pasar Wonokromo atau kepada pedagang yang datang. Biarpun hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga namun mereka merasa masih kurang puas. Sehingga mereka hanya mampu bertahan selama dua tahun saja.
            Rombongan Kyai Mendhung kemudian meninggalkan Dosermo (Sidosermo) dan menuju desa Bogem, Taman, Sidoarjo yang terkenal dengan kesuburan tanahnya. Pada waktu itu kehidupan masyarakatnya terlihat sejahtera, tertib dan aman. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1837. Dengan cepat mereka pun menyesuaikan diri dengan lingkungannya sebagai petani.
Keterangan :
Adat kebiasaan di desa, isteri sering kehilangan nama kecilnya, bukan mengikut nama suami, tetapi justru nama anak sulungnya yang disebut ”Karan anak”. Contoh Bok Hanafiah, karena anak sulungnya bernama Hanafiah. Bok Baren, karena nama anak sulungnya bernama Baren.