“Dhuh Gusti, Ingkang Kawula Purugi Sinten Malih? Paduka Ingkang Kagungan Pangandikaning Gesang Langgeng”

Campur Sari

PERANAN BUDAYA
DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT


         Budaya adalah menjadi bagian dari kehidupan manusia, sejak abad penciptaan. Bahkan Sang Maha Agung adalah pencipta Seni & Budaya. Ia adalah Sang Seniman sekaligus Budayawan yang bercita-rasa tinggi. Hasil karyaNya dapat kita lihat dan rasakan.
          Mustahillah manusia hidup tanpa budaya. Peran serta budaya mau tak mau harus diikuti oleh setiap ‘insan kamil’, karena ia dituntut untuk mempertanggung-jawabkan imannya di tengah-tengah segala budaya. Tak usah mempertanyakan fakta sejarah, bahwa di Indonesia-pun, kolonisasi dan westernisasi masuk begitu derasnya. Akibatnya, banyak kita jumpai orang yang berlagak seperti si ‘Jango’ atau ‘Billy The Kidd’.
          Orang cenderung tak bisa beradaptasi dengan budaya setempat, di mana ia hadir. Si ‘Jango’ terlalu gampang mencap kafir, penyembahan berhala, atau biadab, terhadap budaya yang ada. Itu terjadi hanya karena tidak adanya pemahaman terhadap budaya, menurut bahasa intelektualnya: ‘kurang cerdas’.
                Kitab Amsal Sulaiman bin Dawud mengingatkan : “Hai orang yang tak berpengalaman, tuntutlah kecerdasan…” (Ams 8:5a).
         Dus, sifat buruk dari si ‘Jango’ akibat tercemar kolonisasi dan westernisasi itu belum tentu datangnya dari barat. Prinsipnya, sifat buruk semacam itu, entah dari mana asalnya, adalah sifat kolonisasi dan westernisasi.
          Akibat pemahaman sempit alias ‘kurang cerdas’ tersebut, berakibat adanya menang sendiri, membenarkan dirinya sendiri atau golongannya sendiri, serta tidak memperdulikan kepentingan orang lain. Buntutnya, gontok-gontokan, atau bahasa populernya: ‘terjadi kerusuhan’ (konflik sosial-budaya).
          Clement dari Aleksandria berkata: “Semua sejarah adalah satu, sebagaimana semua kebenaran juga satu. Ada satu sungai kebenaran, tetapi banyak aliran dari berbagai penjuru masuk ke dalamnya” (Stromata 1.5).
Kemudian menarik sekali apa yang dikatakan Swami Vivekananda di depan Sidang Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat, 11 September 1893 yang sempat memukau para hadirin, beliau berkata: “Jika satu agama adalah kebenaran, maka semua agama juga adalah kebenaran; karena itu agama Hindu adalah agama Anda dan agama saya juga”. Dan ia juga berpesan kepada kaum muda Hindu di zamannya: “Manusia berjalan melangkah bukan dari kesalahan menuju kebenaran, melainkan berjalan mendaki dari kebenaran kepada kebenaran, dari kebenaran yang lebih rendah ke kebenaran yang lebih tinggi”.
Rupanya Swami Vivekananda juga menarik perhatian Bung Karno, sehingga ketika beliau meringkuk sebagai tahanan politik selama 25 tahun dalam penjara, buku-buku Swami Vivekananda diselusupkan ke dalam sel, sementara Bung Karno dengan tekun mempelajari pikiran-pikiran Swami Vivekananda (Nyoman S Pendit, ‘Hindu Dalam Tafsir Modern’ ,Yayasan Dharma Naradha-Denpasar, Juni 1995, hl. 36-38).
Jika ada pemahaman terhadap budaya, entah milik sendiri ataukah milik orang lain, maka dapat dipastikan seseorang memiliki solidaritas yang tinggi, memiliki kepedulian, dapat menghargai orang lain, dan mengasihi sesama.

Sementara itu, Bung Karno memakai istilah ‘Islam sontoloyo’ bagi kaum yang menutup ‘pintu Ijtihad’ (Bab al-Ijtihad) yang telah menyebabkan kemunduran Islam selama 1000 tahun (Soekarno, ‘Di Bawah Bendera Revolusi’, Jilid I, hl. 346). Nah, rupanya istilah itu bisa juga diterapkan bagi kita yang menutup ‘pintu hatinya’, ‘keras kepala’ dan bertindak seperti apa yang dikatakan di atas. Dan ‘manusia sontoloyo’ sebenarnya – (masih meminjam istilah Bung Karno) – adalah ‘manusia yang gratul-gratul’ alias ‘kurang cerdas’. Kita sebagai kaum intelektual, jika modelnya seperti itu, wah amit-amit jabang bayi… Itu artinya, ada kemunduran intelektual!
Sekali lagi, Kang…, sosio-kultural itu penting, apalagi dalam era globalisasi ini, jika ‘Kakang’ ingin menjadi manusia yang menciptakan damai sehingga diridhoi oleh Allah. Tapi tidak hanya sampai di situ, Anda juga harus dapat menjadi filter bagi budaya-budaya tersebut, bukan menolak atau menganggap biadab.
Rupanya Bung Karno, Mahatma Gandhi (dengan ‘Ahimsa-nya, anti kekerasan), Swami Vivekananda dan Rāmakŗşņa, amatlah bijak. Bahkan salah seorang Sufi besar yang hidup pada abad ke-11 M, yaitu Ibn ‘Arabi, berkata dengan bijaknya: “Laqad shura qalbi qabilaan kulla shuratin, faama’a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun liautsanin wa ka’batu tha’ifi wa al-wahu Tawrati wa mushafu Qur’anin” , artinya: “Hatiku siap bisa menerima segala simbol, apakah itu biara para rahib, rumah berhala, ka’bah untuk thawaf, atau lembaran Taurat dan mushaf Al-Qur’an” (Michel Chodkiewicz, ‘Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia’, Raja Grafindo Persada-Jakarta, Mei 1999, hl. x-xi).

Kemudian Rāmakŗşņa, seorang mistikus Hindu mengatakan : “Semua agama dan semua jalan mengajak para pengikutnya untuk berdoa pada Tuhan yang tunggal dan sama. Karena itu, orang jangan memperlihatkan sikap menghina terhadap agama apapun atau opini keagamaan…”. Kemudian ia melanjutkan : “…Orang boleh saja memiliki kepatuhan yang terpusat pada agamanya sendiri, tetapi ia hendaknya jangan merasa benci pada keyakinan lain. Sebaliknya, orang harus memiliki sikap ramah kepadanya”. (Yayasan Sanātana Dharmāśrama Surabaya, ‘Studi Banding Antar Agama’, Paramita-Surabaya, April 2000, hl. 114 & 116).
Dari semua itu, yang lebih penting, seperti apa yang ditekankan oleh Bung Karno, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberikan bukti yang cukup tentang ‘verdraagzaamheid’, tentang menghormati agama-agama lain. Demikian juga Nabi Isa menunjukkan ‘verdraagzaamheid’ itu (Soekarno, ‘Pancasila dan Perdamaian Dunia’, Haji Masagung dan Yayasan Pendidikan Soekarno, Jakarta, 1989, hl. 19). Karena itu tidak ada satu agama pun yang mengajarkan intoleransi. Dalam salah satu hadis, Nabi bersabda: “Utlubul ilma’ walau bi as-sin” (Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri cina).
Pengertiannya amatlah luas, di antaranya adalah, kalau mau belajar sampai ke negeri Cina, berarti mau tidak mau kita juga harus belajar dan memahami budaya setempat agar komunikasi dan proses pembelajaran dapat berjalan lancar. Akibatnya, kita belajar untuk menghargai orang lain. Nah, alangkah bijaknya pesan Nabi Muhammad SAW tersebut.
Sejak jaman bahula, jamannya Kanjeng Nabi Adam, berbagai budaya sudah hidup sehingga terjadilah apa yang disebut interaksi budaya. Nah, apalagi kita yang hidup di jamannya Bill Gate dan Linux, sangat diperlukan untuk memahami budaya sendiri dan budaya orang lain, sehingga terjadilah saling pengertian dan saling menghargai. Seseorang pada akhirnya tidak menutup pintu hatinya, dan tidak membatasi pada egoisme kepentingannya, tujuannya, atau imannya, sehingga ‘laksana matahari yang tidak membatasi cahayanya’.
Insya Allah, Indonesia menjadi negara yang aman, damai dan sejahtera. Amin…

(Abdul Rasjid, Mei 2010)


PARALEL YANG MENARIK
DARI AGAMA-AGAMA DI DUNIA


        Agama Zarathustra (Zoroasther) dibawa oleh Zarathustra (660-583 SM), yang semula tumbuh di wilayah Azarbaijan, sebelah utara Iran. Kelahiran Zarathustra kira-kira pada tahun 660 SM, yang konon telah dinubuatkan sejak 3.000 tahun sebelumnya. Ia lahir dari Dughdova, seorang gadis yang masih perawan, yang belum pernah dijamah suaminya, Porushop Spitama. Kemudian dikisahkan, kelahiran Zarathustra membuat Durashan, Kepala Kaum Majus, menjadi marah karena diramalkan bayi itu bakal menghancurkan agama Majusi dan kaum Majus dari permukaan bumi. Sehingga Durashan mengirimkan Tiga Orang Majus untuk mencari dan memusnahkan bayi itu, namun tak berhasil.
Kitab sucinya bernama 'Avesta', berasal dari akar kata Avistak, yang bermakna Bacaan. Kitab Yasna merupakan salah satu bagian dari Avesta. Dalam kitab Yasna terdapat Pengakuan Iman (Syahadat), yang berbunyi: "Saya mengaku diriku penyembah Mazda, pengikut Zarathustra, yang membenci daevas dan mentaati Hukum Ahura." (Daevas, akar katanya 'diu', Yunani: 'diabolos', Inggris: 'devil'). Dan pada bagian Gatha dalam kitab Yasna dijumpai bait berbunyi: "Dari Dia, alam semesta berasal. Rohnya yang membimbing adalah Rohulkudus."
Ahura Mazda adalah Kodrat Maha Tunggal dan Maha Bijaksana. Dalam kitab suci Avesta terdapat 101 buah Nama Terbaik dari Ahura Mazda. Sementara dalam pasal pertama kitab Yasht, salah satu kitab dari Avesta, dijumpai daftar tentang 20 sifat dari Ahura Mazda, dan diwahyukan kepada Zarathustra dengan pesan: "Berzikirlah dengan NamaKu ini setiap hari dan setiap malam."
Kitab suci Avesta juga mengajarkan tentang Hari Kebangkitan dan Pengadilan Terakhir. Pada pengadilan terakhir itu harus melalui suatu titi-ujian yang disebut 'Civanto Peretu', di bawahnya terdapat arus gelombang dari cairan logam yang menyala-nyala. Titi-ujian itu lebih halus dari rambut dibelah tujuh. Bagi yang berbuat kebajikan akan beroleh hidup kekal dan bahagia di dalam 'Paridaeza', sementara yang berdosa dan menyangkal Ahura Mazda akan berada kekal di 'Gehannama', menderita siksaan yang tiada tara.  1)
Keyakinan tersebut rupanya ada paralelisasinya dengan agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Menarik bukan?
YHWH merupakan nama Allah bagi bangsa Israel. Nama yang terdiri dari 4 huruf mati tersebut dipandang suci oleh bangsa Israel, sehingga mereka sangat hati-hati dalam menggunakan nama Allah tersebut. Pada perkembangan selanjutnya Nama tersebut diberi huruf hidup menjadi Yahweh dan Yahuwa. Umat Muslim sedunia jika saat wiridan akan menyebut Nama itu dengan sebutan Yaa-Huu. Sebutan itu adalah singkatan dari bunyi: 'Ya Huwa'.
Dalam dunia Islam dikenal dengan istilah Takbiran dengan mengucapkan: Allahu Akbar, sementara dalam masyarakat Yahudi dikenal dengan istilah Tahmidan dengan mengucapkan: Halleluyah. Tahmidan yang berbunyi Halleluyah itu oleh masyarakat Islam disebutkan dengan Allahu'l-'Ulya. Kedua sebutan itu sama-sama bermakna: Allah Maha Tinggi.  2)

Sementara itu, almarhum KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa, Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, dan sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Di dalamnya terdapat rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut Kyai, di Sunda Ajengan, di Madura disebut Nun atau Bendara, disingkat Ra); ada sebuah surau atau mesjid; tempat pengajaran (Arab: Madrasah); ada juga asrama untuk para siswa pesantren (disebut Santri, pengambilan alih dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian).
Sementara Suyoto menulis, Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan Islam di negri kita. Lembaga seperti ini sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam itu sendiri. Perguruan berasrama ini merupakan lembaga tempat mendalami agama Hindu dan Buddha. Bedanya, pada yang kedua hanya didatangi anak-anak golongan aristokrat, sedang pada yang pertama dikunjungi oleh segenap lapisan masyarakat, khususnya rakyat jelata.  3)


1)  Joesoef Sou'yb, 'Agama-agama Besar di Dunia' (PT Al Husna Zikra-Jakarta, 1996), hl.
     220-266.
2)  'Ibid', hl. 276-277.
3)  Abdurrahman Wahid, Suyoto, M Habib Chirzin, Nurcholish Madjid, M Saleh Widodo,
     Ali Saifullah HA, Edwar, 'Pesantren dan Pembaharuan' (LP3ES-Jakarta, 1974), hl. 40 dan 65.

(Abdul Rasjid, Mei 2010)


SHALAT DALAM KRISTEN


Shalat dalam Kristen jarang diketahui, khususnya dalam hidup kekristenan di Indonesia. Buku ini cukup menarik dalam membeberkan Shalat-shalat milik kekristenan. Shalat yang dilakukan di gereja-gereja Arab, kalau di Gereja Katolik namanya Brevir atau De Liturgia Horanum. Fakta bahwa seluruh Gereja-gereja di Timur masih melaksanakan Shalat Tujuh Waktu (As-Sab’u ash-Shalawat) dengan jelas dicatat Aziz S Atiya.
     Dalam gereja-gereja Orthodoks jam-jam shalat (Arami: ‘iddana tselota; Arab: sa’atush shalat) ini masih dipertahankan tanpa putus sebagai doa-doa baik kaum imam (klerus) maupun untuk ummat (awam).
     
Khidmat al-Quddus dan Shalat :

     Dalam teks Peshitta (Aramaic, pen.) untuk Kis 2:42 berbunyi: "Mereka bertekun dalam pengajaran para Rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu menjalankan shalat-shalat dan merayakan Ekaristi". Dua corak ibadah ini merupakan penggenapan dari kedua corak ibadah Yahudi: Mahzor dan Siddur. Mahzor, ialah perayaan besar yang diselenggarakan 3 kali dalam setahun di kota suci Yerusalem. Kata yang diterjemahkan “perayaan”, dalam bahasa Ibrani: Hag  (yang seakar dengan kata Arab: Hajj ). 
     Ketujuh ibadah sakramental, khususnya ‘Qurbana de Qaddisa’ (Ekaristi/Perjamuan Kudus) yang meneruskan ibadah Hag, maupun Shalat tujuh waktu non-sakramental, dapat dilacak asal-usulnya dari Siddur Yahudi.

Term Tselota, Shalat dan Shalawat  :

     Kata Arab shalat ternyata berasal dari bahasa Arami Tselota. Contoh kata ini misalnya terdapat pada Kis 2:42 dalam teks Arami/Syriac : “waminin hu bsyulfana dshliha wmishtautfin hwo batselota wbaqtsaya deukaristiya” (terjemahan lihat atas!). Dalam Alkitab bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut: ‘kasril khubzi wa shalawat’ (memecah-mecahkan roti dan melaksanakan shalat-shalat). 
     Kata Arami Tselota merupakan nomen actionis, yang berarti “ruku’ atau perbuatan membungkukkan badan”. Dari bentuk kata Tselota inilah, bahasa Arab melestarikannya menjadi kata Shalat.
     Selanjutnya, Mar Ignatius Ya’qub III menekankan bahwa orang Kristen hanya “melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa Timur lainnya ketika memuji Allah dalam praktek ibadah mereka” (taba’an lamma kana yaf’alahu al-Yahudi wa ghayrihim fii al-syariq fii atsna’ mumarasatihim al ‘ibadah). Dan perlu dicatat bahwa, “pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh ummat Muslimin” (wa qad iqtabasa al-Muslimun aidhan buduruhum hadza al-naun min al ‘ibadah). 
     Selain dari itu, gereja mula-mula juga meneruskan adab ‘Tilawat Muzamir’ (yaitu bagian-bagian Kitab Zabur/Mazmur) dan shalat-shalat yang ditentukan pada jam-jam ini (wa qad akhadzat ba’dha al-Kana’is ‘an Yahudu tilawat Muzamir wa shalawat mu’ayyanat fii hadzihis sa’ah).

Kiblat Shalat  :

     Alkitab mencatat kebiasaan nabi Daniel berkiblat “ke arah Yerusalem, tiga kali sehari ia berlutut dengan kakinya (ruku’) mengerjakan shalat” (Dan 6:11, dalam bahasa Arami: “negel Yerusyalem, we zimnin talatah be Yoma hu barek ‘al birkohi ume Tsela” ).
     Seluruh ummat Yahudi sampai sekarang berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Ibrani: Beyt ham-Miqdash), di kota suci Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci mempunyai arah kiblat (Ibrani: Mizrah) ke Yerusalem. Kebiasaan ini diikuti oleh ummat Kristen mula-mula, tetapi mulai berkembang beberapa saat setelah tentara Romawi menghancurkan Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 M.

     Kehancuran Bait Allah membuat arah kiblat shalat Kristen menjadi ke arah Timur, berdasarkan Yoh 4:21, Kej 2:8, Yeh 43:2 dan Yeh 44:1. Kiblat ibadah ke arah Timur ini masih dilestarikan di seluruh gereja Timur, baik gereja-gereja Orthodoks yang berhaluan Kalsedonia (Yunani), gereja-gereja Orthodoks non-Kalsedonia (Qibtiy/Coptic dan Syria), maupun minoritas gereja-gereja Nestoria yang masih bertahan di Irak.

Makna Teologis Ketujuh Waktu Shalat  :

     L E Philips, berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa ummat Kristiani paling awal sudah melaksanakan daily prayers (shalat) pada waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah malam.
     Ketujuh Shalat dalam gereja purba, yang penyusunannya didasarkan hitungan waktu Yahudi kuno itu, antara lain  :
     
1.   Shalat Sa’at al-Awwal
Shalat jam pertama, kira-kira pukul 06.00 pagi, disebut juga Shalat Subuh dalam gereja Syria, atau Shalat Bakir (Shalat bangun tidur) dalam gereja Coptic. Dalam Gereja Barat (Katolik) disebut Laudes Matutinae (pujian pagi).

2.   Shalat Sa’at ats-Tsalitsah
Latin: Hora Tertia, “Shalat jam ketiga”, jatuh kira-kira sejajar dengan pukul 09.00 pagi, sebanding dengan Shalat Dhuha’ dalam Islam. Shalat pada jam ketiga ini, karena memperingati pengadilan Pilatus atas Al-Masih (Mrk 15:25), dan turunnya Ruh Kudus atas para muridNya (Kis 2:15).

3.   Shalat Sa’at as-Sadisah
Latin: Hora Sixta, “Shalat jam keenam”, yang bertepatan pada jam 12.00 siang. Rasul Petrus pun telah melaksanakannya (Kis 10:9), bahkan raja Daud juga sudah mengenal shalat tengah hari (Ibrani: “Tsohorayim” ). Waktu shalat ini dapat sejajar dengan Shalat Dhuhr dalam Islam. Pada waktu inilah “Ia telah disalibkan” (Mrk 15:33).

4.   Shalat Sa’at at-Tasi’ah
Latin: Hora Nona, “Shalat jam kesembilan”, kira-kira pukul tiga petang menurut hitungan modern (15.00), atau sejajar dengan Shalat ‘Asyar dalam Islam. Rasul-rasul dengan tekun mengikuti Shalat yang dikenal orang Yahudi sebagai Minhah (Kis 3:1, 10:30). Dalam Lukas 23:44-46 dikisahkan bahwa kegelapan meliputi seluruh daerah itu, dan tirai Baitul Maqdis terbelah dua, lalu Ia menyerahkan nyawaNya.

5.   Shalat Sa’at al-Ghurub 
Dalam Gereja Katolik dikenal dengan Verpers (ibadah sore/senja/Maghrib). Waktunya bersamaan dengan terbenamnya matahari, kira-kira pukul 06.00 petang menurut  waktu kita. Shalat ini untuk mengingatkan kita pada diturunkannya tubuh Junjungan kita Al-Masih dari kayu salib, lalu dikafani dan dibaringkan serta diberi rempah-rempah (ruttabat hadza ash-shalatu tadkara li-nuzulu jasada as-sayid al-Masih min ‘ala ash-shalib wa takafiniyat wa wadha’ al-hanuthan ‘alaih).

6.   Shalat al-Naum
Shalat al-Naum (‘saat berangkat tidur’), kira-kira sejajar dengan shalat ‘Isya dalam Islam. Gereja Katolik menyebut shalat ini Vigil (Latin: Vigiliae, “tirakatan”). Tradisi liturgis Kristiani menghubungkan shalat malam ini “untuk mengingat berbaringnya Junjungan kita al-Masih dalam kubur” (ruttabat tadzkara li-wadla’a as-sayid al-Masih fi al-qubr).

7.   Shalat as-Satar
Shalat tengah malam (penutup) ini, disebut dalam gereja-gereja kuno dengan berbagai nama: Shalat Lail  (Shalat malam), Shalat Satar  (“Pray of Veil”, Shalat Penutup), atau Shalat Sa’at Hajib Dhulmat  (Shalat berjaga waktu malam gelap). Dalam bahasa Arami/Suryani dikenal dengan istilah Tselota Shahra (Shalat waktu berjaga). [bnd. Why 16:15, Kis 16:25].


Shalat Tujuh Waktu dan Perkembangannya dalam Gereja Barat  :

     Karena kekristenan bukanlah agama yuridis, seperti Yahudi, sehingga konsep shalat bukanlah semata-mata dipandang sebagai syari’ah, melainkan lebih berlandaskan pada keinsyafan batin, sebagai ucapan syukur karena penebusan Allah melalui jalan syuhada’  (martyr) Al-Masih.
     Pada zaman dahulu, Gereja Barat (Katolik dan Protestan klasik) masih mengamalkan ketujuh waktu shalat yang dalam bahasa Latin disebut: ‘De Liturgia Horanum’. Dalam bukunya The Small Cathechism, Martin Luther masih mengikuti dua pola sembahyang ini. Kendati Luther melakukannya dengan beberapa revisi, tetapi banyak ‘adab berdoa kuno masih dipertahankan, misalnya membuat ‘tanda salib’  yang dikenal seluruh Gereja Purba.
     Akibat pengaruh Liberalisme dan Individuisme yang muncul di Eropa bersamaan dengan era Reformasi Protestan, bukan saja waktu-waktu Shalat yang dihapuskan, malahan ada kecenderungan kuat pada kekristenan kontemporer untuk menolak doa yang dirumuskan, meskipun terbukti kata-kata dalam doa tersebut telah dikuduskan oleh pola ibadah sepanjang abad.
     Terakhir, perlu kita merenungkan penyesalan E H van OLST, seorang teolog Calvinis dari Belanda:

“Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi di lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern”.


(Dirangkum oleh : Abdul Rasjid)

Sumber : Buku “Shalat Tujuh Waktu”, Penulis : Bambang Noorsena, Penerbit : STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA, Malang.


SPIRITUAL


R.A Nicholson menjelaskan kriteria Ma'rifat sebagai berikut :

"Pengetahuan yang langsung tentang Tuhan yang didasarkan pada penyingkapan (wahyu) atau visi apokaliptis. Ia bukanlah hasil suatu proses mental, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak dan karunia Tuhan, yang diberikan sebagai hadiah dari-Nya kepada orang-orang yang telah diciptakan dalam kapasitas (yang sepadan) untuk menerimanya. Ia merupakan cahaya rahmat Tuhan yang menyinari hati dan mengatasi segala kemampuan manusia dalam hal kekuatan cahayanya yang menyilaukan pandangan mata. Orang yang mengenal Tuhan adalah kelu (bisu)."
(Nicholson, 'The Mystics of Islam', London: Routledge & Kegan Paul, 1979, hl.71)

Al-Ghazali menjelaskan tentang cinta (mahabbah) sebagai berikut :

1. "Isa as bersabda: Pecinta dunia ini seperti seorang yang minum air laut; makin banyak minum, maka semakin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuasi."
2. "Rasulullah saw bersabda: Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa menjadi basah."
(Saiful Jazil, Imam Musbikin, Sufyanto, 'Senandung Cinta Jalaluddin Rumi', Pustaka Pelajar-Yogyakarta, 2000, hl. 100)

Sebuah kajian tentang SUFI :

Sufisme mengandung berbagai unsur dari sistem non-Sufi seperti Gnostisisme, Neoplatonisme, Aristotelianisme dan lain-lain. Sementara seorang akademisi perempuan terkemuka, penulis otoritatif tentang mistisisme Timur Tengah dalam bukunya menyatakan, bahwa Sufisme 'mungkin dipengaruhi secara langsung oleh pemikiran Budhisme'.

Kepercayaan bahwa sebuah peristiwa unik keagamaan menimbulkan sebuah perubahan sempurna nasib manusia, dalam masyarakat Kristen, menghasilkan sebuah kekuatan besar, namun setidaknya ada dua faktor yang membatasi dampaknya. Pertama adalah waktu peristiwa yang menunjukkan bahwa ada batas bagi ekspansi alamiah dan bahkan artifisial dari Gereja Kristen dan sebuah batas bagi dinamikanya dalam bidangnya sendiri. Lebih dari itu ada persoalan skolastik. Karena ajaran Yesus mempunyai keunikan (meski mungkin merupakan ajaran kenabian yang khayali dan prediktif), maka sulit untuk mencapai perspektif spiritual yang tidak dipengaruhi oleh kepercayaan ini. Agama, mistisisme dan spiritualitas kini tidak bisa begitu saja dilihat sebagai suatu perkembangan alamiah atau milik umum umat manusia. Menurut para Sufi, faktor penyeimbang utama dari kekuasaan Kristen formal adalah pengalaman sinambung dari tradisi Kristen sejati yang telah mengalami distorsi.

Seorang Sufi menulis :


Aku penyembah berhala; Aku beribadah di altar Yahudi;
Akulah berhala Yaman, candi para penyembah api; rahib Majusi; realitas batin
dalam meditasi bersila Brahma; kuas dan cat warna para seniman; sosok pencela
agama yang tertekan dan berkepribadian kuat. Satu sama lain tidak saling mengalahkan-
ketika sebuah api dilempar ke dalam kobaran api lainnya, mereka membentuk kobaran
api bersama-sama. Engkau melempar suluh ke lilin, lalu berkata,
"Lihat! Aku telah memusnahkan nyala lilin!"

(Ishan Kaiser dalam Percakapan Para Hakim)

(Idries Shah, 'Mahkota Sufi', Risalah Gusti-Surabaya, 2000, hl. 47, 50, 56-58) 

Kemudian menarik sekali apa yang dikatakan oleh S.H. Nasr : "... Islam menghargai Kristen yang memiliki peranan penting dalam tahap-tahap tertentu dari Sufisme."
(S.H. Nasr, 'Islam dalam Cita dan Fakta', pent. Abdurrahman Wahid & Hashim Wahid, Leppenas-Jakarta, 1983, hl. 17)

Sementara Tor Andrae menjelaskan : "Perbincangan-perbincangan antara orang-orang Muslim dan para biarawan Kristen tentu saja bukannya tanpa dasar dalam kenyataan. Bagaimanapun juga, mereka menyaksikan kenyataan bahwa Islam, selama abad-abad pertama, berani belajar, dan dalam kenyataannya memang benar-benar belajar dari kesalehan zuhud Kristen. Banyaknya dialog spiritual antara kaum zahid Muslim dan Kristen, entah di biara-biara gelap atau dalam perjalanan saleh di kesunyian bukit, tentunya meninggalkan jejak-jejak dan juga pengetahuan tentang 'Isa, putra Maryam, bagaimana ia hidup dan apa yang dikatakannya. Di atas segalanya, semuanya itu adalah ajaran-ajaran dalam Khutbah di Atas Bukit yang ditiru oleh kaum Muslim.... Kaum zahid Islam belajar menilai dan mempraktekkan berbagai keutamaan Injil ini persis dalam bentuk yang disuguhkan dalam kesalehan para biarawan Kristen.... Dengan demikian, kesalehan zuhud mistik dalam gereja-gereja Kristen yang telah memberi Muhammad konversi keagamaannya terus menggunakan pengaruh yang luas pada masyarakat yang dibangunnya. Tentu saja, ini nyaris tidak bisa diharapkan. Untuk sebagian besar, Islam mengadopsi budaya dunia Mediterania Kristen, dan mustahil membayangkan bahwa segenap praktik dan doktrin agamanya tidak memainkan peran dalam proses ini".
(Tor Andrae, 'Di Keharuman Taman Sufi-Kajian Tasawuf Kurun Awal', Pustaka Hidayah-Bandung, 2000, hl. 54, 85, 87)

(Abdul Rasjid, 2003)



KALIGRAFI


*)   Beberapa ahli berpendapat Kaligrafi Syria (Aram) adalah salah satu Kaligrafi kuno. Salah satunya adalah huruf Estrangelo, yang merupakan cikal-bakal dari tulisan 'Arab-Kufi'. Dan huruf Estrangelo ini juga biasa dipakai untuk penulisan (karya) prosa, bahkan sering digunakan untuk hiasan Judul Karangan.
Menurut penelitian, hampir sekitar 30-100 penulis dari tahun 462-1264 M yang biasa menggunakan 3 model huruf Estrangelo: tebal, sedang dan indah, dengan sedikit perbedaan kecil di antara mereka. 1)

*)   Telah disepakati bahwa aksara Arab yang mencapai kedudukan penting dalam sejarah dunia melalui kesusastraan Islam adalah anak cabang dari aksara Arami Kristen (Syriac). Untuk melacak perkembangan aksara Arab tersebut, kita dapat mengemukakan beberapa 'inskripsi' penting yang semua ditemukan di sekitar Syria. 2)
(Jika ingin melihat penjelasan lebih lanjut, coba Anda klik kata 'Estrangelodan 'inskripsi' yang berwarna biru tersebut).

Dengan ditemukannya prasasti pra-Islam ini, menjadikan kita lebih paham bahwa orang-orang Kristen mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tulisan kepada bangsa Arab. Dan dalam bukti tersebut, menunjukkan bahwa orang-orang Kristen sudah menggunakan bahasa Arab sebelum jaman Islam, bahkan sudah menggunakan istilah 'Bismi l-lah'.
  
Bukti-bukti arkeologi yang mengadakan penelitian tentang pertumbuhan tulisan Arab yang berasosiasi erat pada Ilmu Perbandingan Bahasa, di mana dalam perkembangannya dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Khat Mesir Kuno adalah sumber kelahiran khat Feniqi.
2. Khat Feniqi terpecah menjadi dua : Arami dan Musnad.
3. Khat Arami melahirkan khat : Nabati di Hirah dan khat Satranjili-Suryani di Irak.
4. Khat Musnad melahirkan khat : Safawi, Samudi dan Lihyani di Arabia Utara, dan Humeiri di selatannya.
5. Khat Nabati dipandang sebagai biang dari model khat Naskhi.
6. Khat Satranjili akhirnya melahirkan khat Kufi yang sebelum Islam bernama Hieri (diambil dari kata Hirah, kota kelahirannya) dan sering juga disebut Jazm.

Khat Musnad yang bertahan lama dan berpengaruh besar di kawasan Jazirah Arab akhirnya tergeser oleh pengaruh tulisan Kindi, yakni suku yang bermukim di selatan Jazirah Arabia, sebelum masa Islam, dan juga tulisan Nabati. Oleh sebab adanya interaksi antara tulisan lama dengan pendatang baru, maka melahirkan jabang bayi tulisan Nabati Mutakhir, yang pada hakikatnya masih merupakan rantai penyambung dari tulisan Musnad yang lebih lengkap dan sempurna, serta mencerminkan masyarakat Semith yang memiliki kebudayaan terdepan dan pengaruh paling besar pada saat itu, yaitu Kebudayaan Aramia.
Penemuan-penemuan tersebut sangat penting artinya bagi studi penelitian tulisan Arab dan perkembangannya, sekaligus untuk mempelajari kemungkinan bentuk-bentuk dialek Arab sebelum Islam, karena ia merupakan nash (teks) permulaan yang ditulis dengan dialek lidah Arab tulen yang mendekati dialek Qureisy. 3)

Selanjutnya informasi di bawah ini tak kalah pentingnya :

*)     Di lembah Refada (Farra) orang Sumeria Kuno dan bangsa-bangsa lain sebelumnya sudah mulai menulis di atas tanah dan bebatuan. Lalu diikuti oleh orang-orang Kaldan Babilon, Assyria, dan Kanaan Semith. Orang-orang Kaldan adalah penghuni tertua Babilonia (3.300 SM). Pencatat sejarah mengatakan bahwa aksara paku (fonogram, al-kitabah al-mismariyah) yang ditemukan orang Sumeria 2.500 SM dan dipakai untuk menuliskan bahasa Akadia Semith menyebar dari negeri Refada ke banyak wilayah Timur Dekat, kemudian ditiru oleh orang-orang Syria, Mesopotamia, Persia, dan Armenia. Diakui bahwa lembah Refada telah melahirkan angka-angka dan hitungan yang mula-mula dalam sejarah manusia. 4)

*)     Kaum Muslimin telah menjilid buku dari orang-orang Kopti-Mesir (Kristen, pen.), kemudian membawa pengetahuan tersebut ke segenap penjuru negeri Islam. Pada awal kekuasaan Daulat Abbasiyah, keterampilan menjilid buku lebih banyak menyebar di daratan Mesir dan Turkestan Timur. Untuk wilayah kedua ini, sudah diketemukan di antara catatan-catatan Manu yang terungkap selama penelitian di sepanjang puing-puing kota Hugo, ibu kota suku-suku Uigur di Turkestan-Cina. Kuat dugaan, kerja menjilid buku-buku Kopti melalui tangan-tangan missionaris Nestoria yang jemaatnya tersebar di Timur Tengah dan Timur Dekat sejak gereja mereka didirikan. Agaknya dari sanalah pengetahuan menjilid itu masuk ke Iran. 5)


(Abdul Rasjid, 2003)


1)  Patriarch Ignatius Aphram I Barsoum, 'History of Syriac Literature and Scienes - Kitab al-Lulu al-Manthur fi Tarikh al-Ulum wa al-Adab al-Suryaniyya' (Passeggiata Press-Pueblo, 2000), hl. 5.
2)  Bambang Noorsena, 'Memaafkan Sejarah Menatap Masa Depan Bersama' (Studia Syriaca Orthodoxia-Malang, 1998), hl. 58.
3)  Drs. D. Sirojuddin AR, 'Seni Kaligrafi Islam' (PT Remaja Rosdakarya-Bandung, 1992), hl. 23, 33, 35.
4)  Ibid, hl. 9-10.
5)  Ibid, hl. 270.